BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Umar ibnu Khattab
adalah putra dari Nufail Al-Quraisy, dari suku Bani Abdi salah satu rumpun suku
Quraisy. Beliau dilahir di Makkah dan ibunya bernama Hantamah, adalah putri
Hasyim bin Mughirah dari klan Bni Makhzum. Bani Makhzum adalah cabang lain dari
suku Quraisy dan sekutu Bani Umayah di
zaman jahiliyah. Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan
menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar dikenal karenai
mana ia fisiknya yang kuat di mana ia menjadi juara gulat di Makkah. Umar
ketika belum masuk Islam pernah mengubur putrinya hidup-hidup. Sebagaimana yang
ia katakana sendiri, ”Aku menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia
maju kemudian menyisir janggutku” .
Umar memangku jabatan
Amirulmukminin selama sepuluh tahun sekian bulan, mengabdikan diri sepenuhnya
kepada Allah dan agama Allah, dengan melupakan diri dan keluarganya sama sekali.
Pikiran, kalbu dan segenap jiwa raganya dikerahkan semata-mata hanya untuk
memikul tanggung jawab yang begitu besar yang diletakkan di bahunya. Dialah
panglima tertinggi angkatan bersenjata, dia fakih terbesar di antara semua ahli
fakih dan mujtahid yang menggunakan segalanya berdasarkan pendapatnya, dan
semua orang mengakui hasil ijtihadnya. Dia hakim yang bersih dan adil dalam
memutuskan perkara dan mengambilkan hakl si lemah dari si kuat. Dia seorang bapa yang penuh kasih sayang
terhadap semua kaum Muslimin, yang kecil dan yang besar, yang lemah dan yang
kuat, yang miskin dan yang kaya. Dia
seorang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, dan
yang telah pula memperbesar percaya dirinya dan merasa yakin akan pendapatnya.
Dia politikus yang berpengalaman, yang tahu apa yang dikehendakinya, dan segala
yang dikehendakinya disesuaikan dengan kemampuannya. Kalau melebihi
kemampuannya, keinginannya dibatalkan. Dia administrator yang bijaksana dan kebijaksanaanya
memudahkannya mengemudikan berbagai macam bangsa, ras, bahasa dan agama, dia
mengurus segala persoalan itu, dan semua patuh dan bertambah cinta kepadanya.
1.2 Batasan Masalah
Penulisan makalah ini
lebih difokuskan pada tragedi terbunuhnya khalifah Umar bin Khattab. Agar
makalah ini tidak menyimpang dari pembahasan yang hendak dikaji, maka dibuatlah
batasan masalah dalam penulisan makalah ini. Adapun batasan masalah dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
2.1 Jerih payah Umar di
masa kekhalifahannya.
2.2 Ingin Segera Kembali
Kepada Tuhannya.
2.3 Umar ditikam oleh
Abu Lu’lu’ah orang kafir Persia.
2.4 Umar menanyakan
siapa yang membunuhnya?.
2.5 Cerita-cerita
sebelum Umar terbunuh.
2.6 Ka’b Al-Akbar dan
Ramalannya.
2.7 Muslimin minta Umar
menunjuk pengganti.
2.8 Kisah tentang sebuah
musyawarah.
2.9 Umar memikirkan
nasib Muslimin yang sesudahnya.
2.10 Keinginannya
menyelesaikan utang.
2.11 Ingin dimakamkan di
samping makam Rasulullah dan Abu Bakr.
2.12 Betapa takutnya ia
akan perhitungan dengan Tuhannya .
2.13 Dimandikan,
dikafani dan dimakamkan.
1.3
Tujuan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui tragedi terbunuhnya terbunuhnya khalifah Umar
bin Khattab.
2) Untuk mengetahui kondisi Umat Islam sepeninggal khalifah Umar
bin khattab.
3) Untuk memenuhi tugas ujian tengah semester mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
1.3 Metode
Penulisan
Metode penulisan
makalah ini adalah dengan menggunakan metode kepustakaan, yaitu dengan
mengambil berbagai sumber dari beberapa literatur seperti dari buku, artikel,
ataupun dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Jerih payah Umar
di masa kekhalifahannya
Dengan keadaan yang
makmur pada masa pemerintahan Umar, tidak heran jika orang Arab kemudian
menjadi pusat perhatian dunia, dari ujung barat sampai ke ujung dunia timur.
Sebelum masuk Islam, mereka merupakan masyarakat pedalaman yang hidup hanya
untuk dirinya dan tunduk kepada pengaruh pihak lain.
Alangkah besarnya
jerih payah Umar yang selama sepuluh tahun dicurahkan untuk memikul beban tanggung
jawab yang begitu berat. Contohnya, perhatian Umar akan sektor kehidupan sosial
benar-benar memajukan kekhalifahan Islam, pembangunan beliau dalam bidang
pendidikan, ekonomi dan tata niaga pemerintahan dan negara benar-benar membawa kemajuan
bagi Islam dibalik jiwa sederhana dan ketegasannya Allahu yarham.
Berapa umur Umar
sesudah menempuh sepuluh tahun sebagai Amirulmukminin? Ibn Asir mengatakan; “Ia
dilahirkan empat tahun sebelum perang Fijar, dan umumnya ketika itu lima puluh
lima tahun, ada yang mengatakan enam puluh tahun, juga dikatakan enam puluh
tiga tahun dan beberapa bulan dan ini yang benar atau dikatakan enam puluh satu
tahun. “Dalam sebuah sumber disebutkan ia berusia enam puluh tiga tahun. Dari
semua sumber ini tampak bahwa umurnya antara lima puluh lima dengan enam puluh
lima tahun. Besar sekali dugaan bahwa umurnya sudah melampui enam puluh tahun.
Bahwa ia hidup telah menyiksa diri dan lebih suka hidup sengsara sepanjang ia
menjadi khalifah sampai-sampai orang khawatir ia akan menemui ajalnya saan
terjadi musim kelaparan, maka wajar sekali bila dalam usia itu terasa sangat
berat, terutama bagi orang yang sudah pernah mengenal hidup senang dan mewah,
ditambah lagi dengan tanggung yang begitu besar. Beban itu juga sangat terasa
lebih berat. Di samping itu ia mendapat kesempatan beristirahat atau
bersenang-senang atau akan meringankan segala beban dalam memikul tanggung
jawab itu, dari persoalan Negara yang besar pada masanya sampai kepada yang
sekecil-kecilnya.
2.2
Ingin Segera Kembali Kepada Tuhannya
Seperti sudah kita
ketahui, Umar menunaikan ibadah haji tiap tahun dan mengundang para wakil dan
para pejabat. Pada musim haji di Makkah itu mereka dating untuk dimintai
pertanggungjawaban mengenai segala tugas mereka dan bersama-sama ia mengatur segala
kepentingan wilayah mereka. Seperti biasa, pada tahun ke-23 H ini ia
melaksanakan ibadah haji, dan kembali bersama -sama dengan para istri
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah melakukan manasik dan
bertolak dari Mina cepat-cepat, ia tinggal di tempat yang datar, menimbun
seonggok pasir lalu ujung bajunya dihamparkan dan ia terlentang sambil;
mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata: “Allahumma ya Allah, umurku kini
sudah bertambah, tulangku sudah rapuh, kekuatanku pun sudah banyak berkurang
dan rakyatku tersebar ke mana-mana, maka kembalikanlah aku kepada-Mu tidak
dalam keadaan lemah ataupun bersalah. “Doa ini tidak diucapkan orang sebelum
mencapai umur enam puluh tahun, terutama jika dalam keadaan jasmani yang tegap
dan kuat seperti halnya dengan Umar.
Perasaan Umar bahwa
ajalnya sudah dekat , tanpa sakit, selain merasakan tenaganya yang makain lemah
dan badan letih, memaksanya sering berpikir dan merenung. Tak banyak orang
selama ia dalam sehat afiat yang berbicara dalam hatinya, seperti yang dialami
Umar, kendati ada sebagian orang merasakan dekatnya ajal pada permulaan
sakitnya yang terakhir. Adakah Umar termasuk orang yang merasakan akan
terjadinya sesuatu sebelum terjadi? Atau karena usia yang sudah makin lanjut dan
tebaga yang sudah berkurang dengan rakyatnya yang sudah begitu luas membuatnya
berpikir tentang ajalnya yang sudah dekat, dan berdoa kepada Allah agar ia dipanggil kembali
kepada-Nya? Kita bebas menjawab sendiri. Tetapi kalangan sejarawan Muslimin mengutip
berbagai banyak sumber.
2.3 Umar ditikam oleh Abu Lu’lu’ah
orang kafir Persia
Sebelum matahari terbit hari Rabu itu tanggal
empat Zulhijjah tahun ke-23 H Umar keluar dari rumahnya hendak mengimani salat
subuh. Ia menunjuk beberapa orang di Masjid agar mengatur saf sebelum shalat.
Kalau barisan mereka sudah rata dan teratur, ia datang dan melihat saf pertama.
Kalau ada yang berdiri lebih maju atau mundur, diaturnya dengan tongkatnya.
Kalau semua sudah teratur di tempat masing-masing, mulai ia bertakbir untuk
shalat. Saat itu dan hari itu tanda-tanda fajar sudah mulai tampak. Baru saja
ia mulai niat shalat hendak bertakbir tiba-tiba muncul seorang laki-laki di
depannya berhadap-hadapan dan menikamnya dengan khanjar tiga atau enam kali,
yang sekali memngenai bawah pusar. Umar merasakan panasnya senjata itu dalam
dirinya, ia menoleh kepada jemaah yang lain dan membenyangkan tangannya seraya
berkata: “ Kejarlah anjing itu; dia telah membunuhku!” Dan anjing itu Abu
Lu’lu’ah Fairuz, budak Al-Mughirah. Dia orang Persia yang tertawan di Nahawand,
yang kemudian menjadi budak milik Al-Mughirah bin Syu’bah. Kedatangannya ke
Masjid itu sengaja membunuh Umar di pagi buta itu. Ia sudah bersembunyi di
bawah pakaiannya dengan menggegam bagian tengahnya khanjar bermata dua yang
tajam. Ia bersembunyi di salah satu sudut Masjid. Begitu shalat dimulai ia
langsung bertindak. Sesudah itu ia menyeruak lari hendak menyelamatkan diri.
Orang gempar dan kacau, gelisah mendengar itu. Orang banyak datang hendak
menangkap dan menghajar anjing itu.
Tetapi Fairuz tidak member kesempatan menangkapnya. Malah ia menikam ke
kanan kiri hingga ada dua belas orang yang kena tikam, enam orang meninggal
kata sumber dan menurut sumber yang lain sembilan orang. Dalam pada itu datang
seorang dari belakang dan menyelubungkan bajunya kepada orang itu sambil
menghempaskannya ke lantai. Yakin dirinya pasti akan dibunuh, fairuz bunuh diri
dengan khanjar yang digunakannya menikam Amirulmukminin.
Tikaman yang mengenai bawah pusarnya itu telah
memutuskan lapisan kulit bagian dalam dan usus lambung yang dapat mematikan.
Konon Umar tak dapat berdiri karena rasa perihnya tikaman itu, dan terhempas
jatuh. Abdur-Rahman bin Auf segera maju menggantikannya mengimami shalat. Ia
meneruskan shalat itu dengan membaca dua surat terpendek dalam Qur’an: Al-Asr
dan Al-Kaustar. Ada juga dikatakan bahwa orang jadi kacau-balau setelah Umar
tertikam dan beberapa orang lagi di sekitarnya. Mereka makin gelisah setelah
melihat Umar diusung ke rumahnya di dekat Masjid orang ramai tetap kacau dan
hiruk-pikuk sehingga ada yang berseru: shalat! Matahari sudah terbit! Mereka
mendorong Abdur-Rahman bin Auf dan dia maju shalat dengan dua surat pendek
tersebut.
2.4 Umar menanyakan siapa yang
membunuhnya?
Selesai shalat
berjamaah mereka segera terpencar ke samping Masjid dan ke Butaita. Pembicaraan
mereka terpusat hanya pada peristiwa yang mengerikan yang terjadi di depan mata
mereka itu. Secepat kilat berita itu pun tersebar ke seluruh Madinah. Penduduk
yang belum bangun segera terbangun dari tidur, laki-laki, perempuan dan
anak-anak. Mereka semua cepat-cepat keluar ingin mengetahui berita yang lebih
jelas mengenai peristiwa yang luar biasa ini. Yang lain, yang mengalami cedera
di bawa ke rumah masing-masing, ada yang mengerang kesakitan karena
luka-lukanya. Kalangan terkemuka juga datang meminta penjelasan. Abdullah bin
Annas berkata: “ Saya masih di tempat Umar dan dia masih juga dalam keadaan
tidak sadarkan dirti sampai terbit pagi. Pagi itu ketika sadar ia melihat ke
dalam wajah kami, lalu bertanya: ‘Bukan orang Islam yang meninggalkan shalat.’
“Setelah itu Ibn Abbas keluar memenuihi keinginan Umar. Ia berseru kepada orang
banyak: Saudara-saudara, Amirulmukminin bertanya: Adakah peristiwa ini hasil
musyawarah pemuka-pemuka kalian? Orang merasa ketakutan mendengar kata-kata ditunjukkan kepada mereka
itu. Dengan suara serentak mereka semua berkata: Semoga Allah melindungi kita,
kami tidak tahu. Mana mungkin itu akan terjadi. Kalau mereka tahu niscaya
mereka bersedia menebus Umar dengan anak-anak mereka dan nyawa mereka sendiri!
Ibn Abbas bertanya lagi: Lalu siapa yang menikam Amirulmumkminin? Jawab mereka:
Ia ditikam oleh musuh Allah Abu Lu’lu’ah budak Mughirah bin Syu’bah.
Umar sedang membujur di tempat tidur menunggu
Ibn Abbas kembali membawa jawaban atas pertanyaannya itu, sambil menunggu
kedatangannya seorang tabib yang diminta oleh keluarganya. Setelah Ibn Abbas
kembali dan menyampaikan apa yang dikatakan orang banyak itu, dan disebutnya
juga bahwa yang menikamnya Abu Lu’lu’ah dan yang juga menikam beberapa orang
kemudian menikam dirinya. Umar berkata “ Alhamdulillah bahwa saya tidak dibunuh
oleh muslim. Tidak mungkin orang Arab yang membunuhnya.
Sementara Umar mendengarkan apa yang dikatakan
orang yang disampaikan oleh Ibn Abbas, dan meminta pendapat tabib serta
mendengarkan segala peringatannya, kaum Muslimin di Masjid dan di sekitarnya
dalam kelompok-kelompok masih membicarakan apa gerangan yang mendorong Abu
Lu’lu’ah sampai melakukan perbuatan
kejinya itu. Mengenai hal ini kalangan sejarawan mengutip beberapa sumber, yang
sebagian barangkali berhubungan dengan pembicaraan kelompok-kelompok itu, dan
ada pula yang agaknya mendiskusikan sumber-sumber itu. Ada yang
menerima, ada pula yang menolak, dan sebagian lagi menganggapnya hanya cerita
dongeng.
2.5
Cerita-cerita sebelum Umar terbunuh
Dalam at-Tabaqat Ibn
Sa’at menceritakan sebuah peristiwa yang didasarkan kepada Jubair bin Mu’im,
bahwa ketika dalam ibadah hajinya yang terakhir itu Umar sedang berdiri di
pegunungan Arafah, tiba-tiba ia mendengar ada orang berteriak: Hai Khalifah! Orang lain juga ada yang
mendengar, dan mereka sedang meramal
dengan burung menyiapkan bekal untuk perjalanan. Maka bertanya: Mengapa?
Celakalah Anda! Jubair marah kepada oranmg itu seraya berkata: Jangan menghina
dia! Keesokannya Umar sedang berdiri di Aqabah melontar jumrah dan Jubair juga
menyertainya tiba-tiba kepala Umar terkena lemparan batu kerikil hingga
berdarah. Jubair mendengar orang berkata dari gunung itu: “ Demi yang punya
Ka’bah, biar tahu, sesudah tahun ini Umar tidak akan pernah lagi dalam keadaan
begini!” Suara ini jug ayang kemarin meneriakkan: “ Hai Khalifah! Khalifah!” .
At-Tabari, Ibn Al-Asir dan yang lain menceritakan,
bahwa sepulang dari haji pada suatu hari ketka Umar sedang berkeliling di pasar
Abu Lu’lu’ah menemuinya dan bertanya kepadanya: Amirulmukminin, bicarakan soal
saya dengan Mughirah bin Syu’bah, sebab pajak yang dikenakan kepada saya
terlalu tinggi. Berapa pajak yang dikenakan kepada Anda? Tanya Umar.
Dulu dua dirham tiap hari, jawab orang lain. Pekerjaan Anda apa? Tanya Umar
lagi, yang dijawabnya: Saya tuykang kayu, pemahat dan pandai besi. Melihat
pekerjaan semacam itu, pajak itu menirut hemat saya tidak banyak. Saya dengar Anda mengatakan : Kalau
saya mau dapat membuat penggilingan denagn tenaga angin? Ya, jawab orang itu.
Buatkan sebuah buat saya, kata Umar.
Kalau saya menjadi bahan pembicaraan orang di timur dan di barat! Kemudian ia
pergi meninggalkan Umar. Umar berkata: Budak itu tadi telah mengancamku!
2.6
Ka’b Al-Akbar dan Ramalannya
Setelah itu Umar
pulang. Keesokan harinya datang Ka’b Al-Akbar dan mengatakan kepada Umar:
Amirulmukminin, ketahuilah bahwa dalam tiga hari ini Anda akan meninggal. Ka’b
adalah salah satu pemuka pendeta agama Yunani pada masa Nabi, dan ia sering
mengunjungi Nabi untuk memperlihatkan kecenderungan kepada Islam. Dengan
menunda pengumuman keislamnya itu sampai dapat memasukan semua tanda-tanda yang
terdapat dalam kitab suci masyarakatnya tentang Nabi dan sahabat-sahabatnya itu.
Sampai kekhalifahan sudah di
tangan Usman dia baru mengumumkan
keislamannya. Mereka heran dengan peringatan Ka’b itu. Umar menyakan: Dari mana
Anda tahu? Saya melihatnya dari kitab suci Taurat jawabnya. Umara terkejut
dengan kata-katanya dan berkata: Masya Allah! Tidak. Kata Ka’b, bukan nama Anda
tetapi sifat-sifat dan sosok Anda yang menandakan bahwa ajal sudah sampai.
Karena Umar tidak merasa sakit dan mengalami gangguan kesehatan ia makin heran
dengan kata-katanya itu. Sesudah itu ia tidak pernah menaruh perhatian khusus.
Hari berikutnya Ka’b datang lagi dan berkata:
Amirulmukminin, sudah berlalu sehari, tinggal dua hari. Keesokan harinya setelah
itu katanya lagi: Sudah berlalu dua hari, tinggal lagi sehari semalam,, yakin
buat Anda masih ada waktu sampai besok pagi. Keesokan harinya baru subuh Abu
Lu’lu’ah menikam Umar dengan tikaman yang mematikan. Sesudah kaum Muslimin
berdatangan menengok Umar Ka’b juga ikut masuk untuk menjenguknya.
Sir William Muir menguraikan panjang lebar
cerita Ka’b ini dalam Annnals of the Early Caliphate, yang dilanjutkan
denag katanya: “Sukar sekali kita mengetahui bagaimana mula timbulnya cerita
yang aneh ini. Barangkali Ka’b memperingatkan Umar setelah ia melihat
tanda-tanda pada Abu Lu’lu’ah yang hendak menantang dan mengancam itu. “Dan
dapat kita simpulkan dari pembicaraan Abu Lu’lu’ah Umar dan dari cerita Ka’b
sendiri, bahwa orang Persia itu mengancam Umar, dan orang Yahudi itu
menunjukkan waktu akan terjadinya pembunuhan tiga hari sebelum dilaksanakan.
Tak ada bayangan pada seseorang denagn dugaan bahwa kitab-kitab suci akan
menentukan peristiwa-peristiwa sampai terinci itu. Kitab-kitab suci itu semua
mengembalikan segala yang gaib kepada Allah. Kalau begitu, segala rahasia yang
akan terjadi itu tentu sudah diketahui ole Ka’b, lalu ia menyampaikan
peringatan kepada Umar. Tetapi sesudah ada ancaman dari Abu Lu’lu’ah Umar tidak
menghiraukannya, maka terjadilah apa yang terjadi. Peringatan Ka’b dan tikaman
Abu Lu’lu’ah menunjukkan bahwa dalam banyak hal ini ada rahasia yang ketika
terjadi peristiwa kejahatan itu tidak tampak, tetapi baru terlihat sesudah
kejadian.
2.7
Muslimin minta Umar menunjuk pengganti
Jamaah di Masjid
bertanya-tanya gerangan apa yang mendorong Abu Lu’lu’ah melakukan kejahatan itu. Umar sedang membujur
di tempat tidur di rumahnya sementara tabib mengatakan kepadanya supaya ia
berpesan. Pemuka-pemuka Muslimin berbicara kepadanya mengenai apa yang telah
menimpa dan menimpa kaum Muslimin, dan apa yang terjadi jika ajal Khalifah yang
agung itu sudah ditentukan oleh Allah sampai di situ. Tentang siapa yang akan
menggantikan Umar, itulah yang lebih banyak menyita pikiran mereka dan pikiran
Umar sendiri. Adakah kita lihat dia melakukan seperti yang sudah dilakukan oleh
Abu Bakr lalu memilih orang yang akan menggantikannya, atau membiarkan mereka
yang akan menentukan sendiri seperti dalam rapat mereka di Saqifah Banu Sa’idah
ketika Allah telah telah memanggil Rasul-Nya? Disebutkan bahwa Ibn Umar (putra
khalifah Umar) ketika itu berkata kepada Umar bin Khattab: Tidakkah Anda akan
menunjuk seorang pengganti? Siapa? Tanya Umar. Dijawab: Dengan berijtihad,
karena Allah bukan pemilik mereka! Bagaimana kalau Anda mengirim utusan kepada
penanggung jawab daerah Anda. Tidakkah Anda ingin menunjuk seseorang menjadi
pengganti sampai ada jalan lain? Ia
menjawab: Ya, memang. Bagaimana kalau Anda mengutus orang kepada gembala
kambing Anda, tidakkah Anda ingin digantikan oleh seseorang sampai sampai ada
jalan lain? Kata Umar: “Kalaupun saya menunjuk seorang pengganti maka yang akan
menggantikan saya harus orang yang lebih baik dari saya, dan kalau saya
tinggalkan, saya juga ditinggalkan orang yang lebih baik dari saya. “
Disebutkan juga bahwa ketika Sa’id bin Zaid bin Amr berkata kepada umar: Kalau
Anda menunjuk seseorang dari kalangan Muslimin orang sudah percaya kepada Anda,
dijawab ole Umar: Saya sudah melihat sahabat-sahabat saya mempunyai ambisi yang
buruk! Kemudian katanya lagi: Andaikata salah seorang dari dua tokoh itu masih
ada, soal ini akn saya serahkan kepada orang itu. Dua ornag yang saya percayai
itu: Salim bekas budak Abu Huzaifah atau Abu Ubaidah bin Jarrah.
Sumber-sumber
menunjukkan bahwa pemilihan khalifah belum lagi mempunyai ketentuan yang sudah
pasti dalam Islam, juga menunjukkan bahwa sejak pertama kali kedaulatan
membentang luas, Muslimin ketika itu sudah mulai bersaing satu saam lain dan
saling iri hati. Dalam hal inilah Umar berkata: “Saya sudah melihat
sahabat-sahabat saya yang mempunyai ambisi yang buruk!” Adanya ambisi buruk
inilah yang membuatnya ragu menunjuk seorang pengganti untuk mengantikan
kedudukannya, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakr tatkala ia menunjuk
penggantinya. Mengenai kata-katanya bahwa dia akan menunjuk Salim bekas budak
Abu Huzaifah atau Abu Ubaidah bin Jarrah sekiranya salah seorang dari mereka masih
hidup. Maksudnya dengan itu menurut dugaan ingin menjauhi situasi yang begitu
genting kendati yang menghadapinya Umar, yang selama hidupnya dikenal sangat
berterus terang, tegas dan pasti dalam segala hal.
2.8
Kisah tentang sebuah musyawarah
Umar sangat
mengharapkan sekiranya musyawarah yang dilakukan sahabat-sahabatnya tentang
siapa yang akan menggantikan dirinya, selesai dan berhasil memilih penggantinya
sebelum ia menemui ajal. Supaya sesudah itu ia dapat meninggalkan nasib orang
Islam dan kedaulatan Islam dengan keadaan tenang. Oleh karenya disuruhnya
Abdullah anaknya ikut bermusyawarah bersama mereka, tanpa berhak mencampuri
persoalan itu karena hubungan mereka dengan dia. Kata Abdullah bin Umar: Mereka
kemudian bermusyawarah. Usman memanggilku sekali atau dua kali supaya aku
melibatkan diri dalam soal ini, tetapi aku menolak, mengingat apa yang
dikatakan ayah mengenai masalah mereka itu. Kecuali demi kebenaran jarang sekali saya melihat dia mengerakkan bibirnya
mengenai soal apa pun. Setelah Usman
mendesak berulang kali, saya katakan kepadanya: Tidakkah Anda mengerti juga?
Kalian sudah mau mengangkat seoarang Amir sementara Amirilmukminin masih hidup!
Sungguh, seolah-olah saya membangunkan Umar dari tidurnya lalu berkata:
‘Berilah waktu, kalau terjadi sesuatu terhadap diri saya, biarlah Suhaib
mengimani shalat kalian selama tiga malam ini. Setelah itu bersepakatlah
kalian. Barang siapa di antara kalian ada yang mengangkat diri sebagai
pemimipin tanpa kesepakatan kaum Muslimin, penggallah lehernya.’ “
Umar seolah-olah khawatir mereka akan berselisih
setelah ia wafat, dan perselisihan mereka akan menjurus pada pemberontakan.
Kelompok Banu Hasyim akan membela Ali, golongan Abu Mua’it akan membela Usman
dan golongan militer akan membela Zubair, Talhah atau Sa’d dan mereka semua
panglima-panglima terkemuka. Untuk itu ia memanggil kaum Anshar, dan katanya
kepada mereka: “Masukkanlah mereka ke dalam sebuah rumah selama tiga hari.
Biarlah mereka bersikap yang sebenarnya, kalau tidak masuklah kalian dan
penggal kepala mereka.” Kemudian ia memanggil Abu Talhah Al-Ansari, orang yang
terbilang pemberani yang tak banyak jumlahnya, dan katanya kepadanya: “
Berjaga-jagalah di pintu dan jangan biarkan siapa pun masuk.” Sumber lain
menyebutkan ia berkata: “Abu Talhah, bergabunglah Anda dengan lima puluh orang
Anshar rekan-rekan Anda dan bersama beberapa orang anggota Majelis Syura. Saya rasa mereka akan bertemu di
rumah salah seorang dari mereka. Berjaga-jagalah di pintu bersama teman-temanmu
itu. Jangan biarkan dari mereka ada yang masuk, juga mereka jangan dibiarkan
berlarut-larut sampai tiga hari belum ada yang terpilih. Andalah yang menjadi
wakil saya pada mereka!”
2.9 Umar memikirkan nasib Muslimin
yang sesudahnya
Umar tidak cukup hanya menyerahkan majelis
syura itu ke tangan keenam tokoh itu yang ketika Rasullah wafat merasa sangat
puas terhadap mereka bahkan ia ingin sekali berpesan kepada khalifah
sesudahnya, yang menurut pendapatnya akan merupakan kebijakan yang lebih baik,
Negara akan lebih tenteram dan dengan itu Islam akan lebih terhormat. Antara
lain dalam pesannya itu ia mengatakan: “ Pesan saya kepada khalifah yang akan
datang bertakwalah kepada Allah, menjaga kaum Muhajirin yang mula-mula, menjaga
hak-hak mereka dan menghormati mereka. Saya berwasiat agar memperhatikan
segenap penduduk daerah-daerah perbatasan, sebab mereka itulah perisai Islam
dan momok bagi lawan. Para pemungut pajak hendaknya memberlakukan hanya atas
kelebihannya dan dengan kerelaan pihak yang bersangkutan. Mengenai kaum Anshar
yang telah bertempat tinggal (di Madinah) dan sudah beriman, saya menwasiatkan
agar segala amal kebaikan mereka diterima baik dan segala kekurangan mereka
dimaafkan. Mengenai
orang-orang Arab pedalaman saya pesankan agar mereka diperhatikan. Mereka
itulah asal usul orang Arab dan menjadi bahan baku Islam. Ambillah dari yang berkelebihan dari mereka dan
berikanlah kepada kaum fakir miskin di kalangan mereka. Mengenai mereka yang
berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya (kaum Zimmi) saya berpesan agar
segala janji dengan mereka dipenuhi dan janganlah mereka dipaksa di luar
kemampuan mereka, dan agar memerangi siapa pun yang bersembunyi di belakang
mereka.”
Selama terkena tikam itu Umar selalu memikirkan
nasib Islam. Sepeninggalnya nanti ia ingin sekali bibit-bibit pendapatnya
mengenai hasil ijtihadnya itu jangan disia-siakan, mana-mana yang belum
meyakinkan dan belum ada kepastian kebenarannya. Dia sudah menuliskan pendapat
hasil ijtihadnya mengenai kewajiban terhadap pihak kakek di atas tulang bahu
binatang pada sore hari ketika ia terkena tikam. Setelah diketahuinya bahwa
bekas tikaman itu mematikan ia berkata kepada Abdullah anaknya: “Bawa ke mari
tulang yang saya tulis kemarin mengenai soal kakek itu.” Maksudnya akan
menghapus apa yang sudah ditulisnya itu supaya jangan diprote orang sesudah dia
tak ada. Abdullah berkata: Amirulmukmunin, cukup kamilah untuk menyelaesaikan
soal ini. Bagi Abdullah rupanya tidak nudah untuk menghapus dan membiarkan
ayahnya yang sedang menghadapi luka-lukanya. Tetapi Umar menolak dn katanya: Tidak!
Ia tidak puas sebelum tulang itu dibawa dan menghapus tulisan itu dengan
tangannya sendiri.
2.10
Keinginannya menyelesaikan utang
Selain memikirkan umat
Islam dan ijtihatnya sepeninggalnya nanti, hal lain yang dipikirkan beliau
adalah utang beliau. Ia tak ingin meninggalkan dunia ini sebelum semua itu
dijamin penyelesaiannya. Dia pernah meminjam uang delapan puluh enam ribu
dirham dari baitulmal. Abdullah anaknya dipanggilnya, dan setelah hal itu
dikemukakan, ia berkata: “Juallah semua harta Umar. Kalau belum dapat menutupi
mintalah kepada Banu Adi, kalau belum juga mencukupi mintalah kepada Quraisy;
jangan lewatkan mereka.” Abdur-Rahman bin Auf sudah mengetahui, begitu juga
orang Muslimin yang lain, bahwa Umar tidak akan meminjam uang itu kalau tidak
karena waktunya memang sudah tersita untuk kepentingan umat. Itu sebabnya ia
berkata doleg Umar: “Semoga Allah menjauhkan Anda dan sahabat-sahabat Anda
untuk berkata begini sesudah saya tak ada: ‘Kami sudah melepaskan bagian kami
utuk Umar.” Lalu dengan itu kalian mau memuliakan saya tetapi menimpakan
akibatnya kepada saya, dan saya akan terjerumus ke dalam soal yang tidak akan
dapat menyelamatkan saya kecuali jika ada
jalan keluar dari situ!” Kemudian katanya kepada Abdullah bin Umar:
Berikanlah jaminannya. Lalu Abdullah menjamin. Begitu Umar dimakamkan, anaknya
itu mempersaksikan diri di hadapan majelis syura dan beberapa orang dari
Anshar. Begitu berlalu hari Jum’at Abdullah bin Umar sudah membawa uang kepada
Usman bin Affan atas perlunasan itu dengan mendatangkan saksi-saksi waktu
penyerahan.
2.11
Ingin dimakamkan di samping makam Rasulullah dan Abu Bakr
Selesai Umar dari
perhitungan di dunia, ia mengarahkan pikirannya pada yang menjadi harapannya
sesudah mati. Keinginannya yang besar sekali agar ia dimakamkan di samping
kedua sahabatnya, Rasulullah dan Abu Bakr, di rumah Aisyah. Sebelum itu ia
memang sudh meminta izin dari Aisyah dan sudah diizinkan. Menjelang kematiannya
itu ia berkata: Kalau saya mati, mintalalh izin kepadanya, kalau tidak
diizilkanlah biarlah, sebab saya khawatir da mengizinkan hanya karena kedudukan
saya.” Sebuah sumber menyebuykan, bahwa setelah ditikam itu Umar berpesan
kepada anaknya: “Abdullah, pergilah kepada Aisyah Ummulmukminin dan katakan
kepadanya: Umar berkirim salam, dan janganlah katakan Amirulmukminin; sekarang
saya sudah bykan lagi amir atas mereka. Ia (Abdullah) bertanya: Dapat
Ummulmukminin mengizinkan untuk dikuburkan di samping kedua sahabatnya itu. Aisyah
menjawab: “Sebenarnya saya mengiginkannya untuk saya sendiri!” Tetapi hari ini
saya lebih mengutamakannya daripada saya sendiri!” Setelah Abdullah kembali dan
menyampaikan kepada Umar bahwa Aisyah mengizinkannya ia berkata: “ Tak ada yang
lebih penting bagiku selain dari tempat berbaring itu. Abdullah bin Umar,
perhatikanlah. Kalau saya mati bawalah saya ke tempat tidurku, dan bedrdirilah
di pintu, katakanlah: Umar bin Khattab meminta izin, jika diizinkan,
masukkanlah aku di perkuburan Muslimin.
2.12 Betapa takutnya ia akan
perhitungan dengan Tuhannya
Semua yang telah dijalankan Umar bin Khattab
telah membuktikan keimanannya yang sungguh-sungguh, dan perasaan orang besar
ini menunjukkan keagungannya selama memikul tanggung jawab dalam
kepemimpinannya sebagai Amirilmukminin. Kemenangan yang dicapainya selama masanya
itu tidak sampai memperdayanya, kemenangannya terhadap Persia dan Rumawi tidak
membuatnya pongah; ia tidak merasa bangga karena pembicaraan dan pujian orang
kepadanya. Malah ia khawatir kalau-kalau pernah ia berbuat zalim terhadap kaum
lemah, dan rintihan orang lemah ini akan sampai ke langit dan Allah akan
mengukurnya dengan semua amal kebaikan Umar!
Kekhawatiran inilah yang membuatnya melihat
kepada putrinya Hafsah Ummulmukminin, yang ketika menjenguknya sambil menangis
dan meratap ia berkata: Oh, sahabat Rasulullah, mertua Rasullulah,
Amirulmukminin! Tetapi Umar berkata: “ Dengan hak yang ada pada saya atas engkau
saya ingin melarangmu meratapi saya lagi, segundah sekali ini. Tetapi matamu bukanlah
milik saya. Tidak baik meratapi mayat yang hanya akan membawa kebencian para
malaikat.” Umar mee=mang melarang keluarganya menangisi dan meratapinya. Larangan Umar terhadap orang
yang menangis dan meratapi sangat keras. Tatkala melihat susu yang keluar dari
bekas lukanya pernah Suhaib berkata: “ Oh Umar! Oh Saudaraku! Siapa yang
bersama kami sesudah Anda!?” Oleh Umar ia ditegur: Sudah, sudahlah, saudaraku!
Tidaklah Anda merasakan bahwa orang yang ditangisi itu akan diazab?!
Juga Umar khawatir sesudah ia meninggal akan
dikafani dan dikuburkan secara berlebihan oleh keluarganya. Maka ia berpesan
jangam dimandikan dengan muskus atau membawa muskus di dekatnya, seperti yang
biasa dilakukan orang Arab yang berkedudukan. Kepada anaknya ia berkata: “ Sederhanakanlah
kafanku, sebab jika menurut pabdangan Allah ada perbuatanku yang baik, Allah
menggantinya dengan lebih baik, meskipun tidak semestinya aku akan begitu.
Lepaskanlah pakaianku dan percepat, sederhanakanlah liang lahadku, dan jangan
ada perempuan yang ikut mengantarkan. Janganlah memujiku yang bukan semestinya,
sebab Allah sudah lebih tahu tentang aku. Kalau membawaku, percepatlah langkah
kalian. Kalau ada perbuatanku yang baik dalam pandangan Allah kalianlah yang
akan mengantarkan saya pada yang lebih baik itu buat saya, meskipun tidak
semestinya saya akan begitu. Dan kalau sebaliknya yang ada padaku, kalian telah
membuang segala bencana yang kalian pikul di bahu kalian itu.”
Abdullah bin Umar mendengarkan wasiat itu. Ia duduk
di lapik ayahnya dan kepala ayahnya diletakkan di pangkuannya. Setelah
merasakan patsi akan menemui Tuhannya, ia berkata kepada anaknya: “Baringkan
aku di tanah.” Abdullah menjawab:” Ayah, paha saya sama dengan tanah!” Umar
berkata lagi: “Baringkanlah aku di tanah!” Sesudah ia dibaringkan di tanah oleh
anaknya, ia menyilangkan kedua kakinya seraya berkata: “Celakalah aku!
Celakalah ibuku kalau Allah tidak mengampuniku!” Kata-kata itu diulang-ulangnya
sampai roh lepas dari jasad.
2.13 Dimandikan, dikafani dan
dimakamkan
Umar dimandikan dan dikafani dengan tiga lapis
kain, selanjutnya dibawa ke Masjid dan dishalatkan oleh Suhaib. Setelah
mereka mengusung jenazah itu sampai di depan pintu rumah Aisyah, berhenti. Saat itu Abdullah bin Umar berkata:
“Umar bin Khattab meminta izin untuk dimakamkan bersama sahabatnya.” Dijawab
oleh Aisyah: “ Masukkanlah dengan selamat.”
Mereka masuk ke bilik Rasulullah, dan jenazah
itu diturunkan ke tempat peraduan terakhir. Kepala Abu Bakr ditempatkan di
bagian bahu Nabi, dan kepala Umar di bagian bahu Abu Bakr. Dan Abdullah bin
Umar yang bertindak meletakkan jasad itu ditempatnya. Yang juga turun
bersama-sama dia kelima anggota majelis syura: Usman bin Affan, Ali bin Abi
Talib, Abdur-Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas dan Zubaur bin Awwam! Sedang
Talhah bin Ubaidillah masih berada di luar kota, sehingga tidak dapat
menghadiri kematian dan penguburan Umar.
Selesai menguburkan dan menimbun liang lahat,
orang-orang yang berada di dekat tempat itu berkumpul di Masjid dengan
kesedihan yang mendalam mencekam kalbu mereka. Rasa duka telah meremas jantung
mereka, kematian seorang tokoh yang jarang ada tolok bandingnya Amirulmukmunin
seorang pemimpin umat beriman yang selama ini berkorban demi kepentinagn
mereka, mereka yang merasa gamang dan gentar menghadpi ketegasan dan
tindakannya yang keras, yang selama sepuluh tahun enam bulan bersama-sama dengan
mereka. Selama itu ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang paling banyak
berbakti, paling adil dan sangat bertakwa. Karena itu, makin lama
kecintaan mereka kepadanya semakin besar.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Khalifah Umar bin Khattab
memangku jabatan Amirulmukminin selama sepuluh tahun sekian bulan, beliau mengabdikan
diri sepenuhnya kepada Allah dan agama Allah, dengan melupakan diri dan
keluarganya sama sekali. Pikiran, kalbu dan segenap jiwa raganya dikerahkan
semata-mata hanya untuk memikul tanggung jawab yang begitu besar yang
diletakkan di bahunya.
Khalifah Umar bin
Khattab telah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah hingga akhirnya beliau wafat pada usia
sekitar enam puluhan. Abu Lu’lu’ah atau dikenal dengan Fairuz adalah orang
kafir yang berasal dari Persia. Penikaman tersebut terjadi pada hari Rabu
tepatnya tanggal empat Zulhijjah tahun ke-23 H, ketika khalifah Umar bin
Khaatab hendak melaksanakan shalat subuh berjamaah dengan para sahabatnya di
Masjid. Abu Lu’lu’ah menikam beliau dengan
khanjar tiga atau enam kali, yang sekali mengenai bawah pusar dan khalifah Umar
merasakan panasnya senjata itu dalam dirinya. Tikaman yang mengenai bawah
pusarnya itu telah memutuskan lapisan kulit bagian dalam dan usus lambung yang
dapat mematikan. Konon khalifah Umar bin Khattab tidak dapat berdiri karena
rasa perihnya tikaman itu, dan terhempas jatuh.
Sebelum penikaman itu
terjadi, ada seseorang yang telah meramalkan akan terjadinya penikaman
tersebut. Seseorang itu bernama Ka’b. Ka’b adalah salah satu pemuka pendeta
agama Yunani pada masa Nabi, dan ia sering mengunjungi Nabi untuk
memperlihatkan kecenderungan kepada Islam. Dia telah meramalkan bahwasanya
ajal khalifah Umar bin Khatab sudah
dekat. Tetapi, khalifah Umar tidak memperdulikannya. Hingga terjadilah
penikaman yang dilakukan oleh Abu Lu’lu’ah. Dan Ka’b manyatakan keislamannya
pada masa khalifah Usman bin Affan.
Dalam keadaan berbaring karena terkena tikam
itu, khalifah Umar bin khattab pun masih memikirkan nasib umat Islam. Beliau
khawatir dengan keadaan umat Islam sepeninggal beliau, karena dikhawatirkan mereka
akan berselisih setelah beliau wafat, dan perselisihan mereka akan menjurus
pada pemberontakan. Kelompok Banu Hasyim akan membela Ali, golongan Abu Mua’it
akan membela Usman dan golongan militer akan membela Zubair, Talhah atau Sa’d
dan mereka semua panglima-panglima terkemuka. Oleh sebab itu, khalifah Umar
menyuruh para sahabatnya untuk melakukan musyawarah. Khalifah Umar sangat
mengharapkan sekiranya musyawarah yang dilakukan sahabat-sahabatnya tentang
siapa yang akan menggantikan dirinya, selesai dan berhasil memilih penggantinya
sebelum ia menemui ajal. Supaya sesudah itu ia dapat meninggalkan nasib orang
Islam dan kedaulatan Islam dengan keadaan tenang.
Selain memikirkan umat
Islam dan ijtihatnya sepeninggalnya nanti, hal lain yang dipikirkan beliau
adalah utang beliau. Beliau tak ingin meninggalkan dunia ini sebelum semua itu
dijamin penyelesaiannya. Beliau pernah
meminjam uang delapan puluh enam ribu dirham dari baitulmal.
Akhirnya, khalifah
Umar bin Affan dimakamkan di rumah Aisyah istri Rasulullah SAW. Tetapi sebelum
dimakamkan, khalifah Umar bin Khattab dimandikan dan dikafani dengan tiga lapis
kain, selanjutnya dibawa ke Masjid dan dishalatkan. Kemudian para pengantar
jenazah khalifah Umar, masuk
ke bilik Rasulullah, dan jenazah itu diturunkan ke tempat peraduan terakhir.
Kepala Abu Bakr ditempatkan di bagian bahu Nabi, dan kepala Umar di bagian bahu
Abu Bakr.
Selesai menguburkan dan menimbun liang lahat,
orang-orang yang berada di dekat tempat itu berkumpul di Masjid dengan
kesedihan yang mendalam mencekam kalbu mereka. Rasa duka telah meremas jantung
mereka, kematian seorang tokoh yang jarang ada tolok bandingnya Amirulmukmunin
seorang pemimpin umat beriman yang selama ini berkorban demi kepentingan
mereka, mereka yang merasa gamang dan gentar menghadapi ketegasan dan
tindakannya yang keras, yang selama sepuluh tahun enam bulan bersama-sama
dengan mereka. Selama itu ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang paling
banyak berbakti, paling adil dan sangat bertakwa. Karena itu, makin lama
kecintaan mereka kepadanya semakin besar.
3.2 Saran
Sebagai umat Islam dan generasi muda penerus
negara ini, yang akan membawa negara ini
ke arah yang lebih maju dengan mengikuti perkembangan zaman yang semakin
modern, tanpa meninggalkan kebudayaan yang kita memiliki dengan terus berpegang
teguh pada Al-Qur’an dan Hadist, seharusnya kita mempunyai jiwa kepemimpinan
seperti khalifah Umar bin Khattab. Beliau adalah seorang khalifah yang
sangat bertanggung jawab terhadap amanah yang telah diberikan kepada beliau.
Dalam keadaan sakit yang parah pun karena penikaman yang dilakukan Abu Lu’lu’ah,
beliai selalu memikirkan keadaan umat Islam sepeninggal beliau wafat. Beliau
khawatir akan terjadi perselisihan antara sahabat-sahabatnya dan akan
menimbulkan pemberontakan.
Oleh karena itu, mulai
sekarang kita harus menanamkan pada diri kita untuk tidak selalu hanya
memikirkan diri kita sendiri. Kita juga harus memikirakn orang lain. Mengingat
bahwa di dunia ini kita tidak hidup sendirian, kita perlu berinteraksi dengan
orang lain, kita perlu bantuan orang lain dalam mencukupi kebutuhan kita,
karena kita adalah makhluk sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Djamidin,
Taufiq. 2009. Tragedi Pembunuhan Tiga Khalifah. Yogyakarta: Pinush Book
Publisher.
Haekal,
Muhammad Husain. 2007. Umar bin Khattab. Jakarta: Mitra
Kerjaya Indonesia.
Jafariyah, Rasul. 2006. Sejarah Khilafah 11-35 H.
Jakarta: Al-Huda.
Syalabi. 2003. Sejarah Dan Kebudayaan Islam.
Jakarta: PT. Pustaka
Al-Husna Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar