Rabu, 27 Juni 2012

Misteri Terbunuhnya Kholifah Umar Bin Khattab

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Umar ibnu Khattab adalah putra dari Nufail Al-Quraisy, dari suku Bani Abdi salah satu rumpun suku Quraisy. Beliau dilahir di Makkah dan ibunya bernama Hantamah, adalah putri Hasyim bin Mughirah dari klan Bni Makhzum. Bani Makhzum adalah cabang lain dari suku Quraisy dan sekutu Bani Umayah  di zaman jahiliyah. Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar dikenal karenai mana ia fisiknya yang kuat di mana ia menjadi juara gulat di Makkah. Umar ketika belum masuk Islam pernah mengubur putrinya hidup-hidup. Sebagaimana yang ia katakana sendiri, ”Aku menangis ketika menggali kubur untuk putriku. Dia maju kemudian menyisir janggutku” .
Umar memangku jabatan Amirulmukminin selama sepuluh tahun sekian bulan, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah dan agama Allah, dengan melupakan diri dan keluarganya sama sekali. Pikiran, kalbu dan segenap jiwa raganya dikerahkan semata-mata hanya untuk memikul tanggung jawab yang begitu besar yang diletakkan di bahunya. Dialah panglima tertinggi angkatan bersenjata, dia fakih terbesar di antara semua ahli fakih dan mujtahid yang menggunakan segalanya berdasarkan pendapatnya, dan semua orang mengakui hasil ijtihadnya. Dia hakim yang bersih dan adil dalam memutuskan perkara dan mengambilkan hakl si lemah dari si kuat.  Dia seorang bapa yang penuh kasih sayang terhadap semua kaum Muslimin, yang kecil dan yang besar, yang lemah dan yang kuat, yang miskin dan yang  kaya. Dia seorang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya, dan yang telah pula memperbesar percaya dirinya dan merasa yakin akan pendapatnya. Dia politikus yang berpengalaman, yang tahu apa yang dikehendakinya, dan segala yang dikehendakinya disesuaikan dengan kemampuannya. Kalau melebihi kemampuannya, keinginannya dibatalkan. Dia administrator  yang bijaksana dan kebijaksanaanya memudahkannya mengemudikan berbagai macam bangsa, ras, bahasa dan agama, dia mengurus segala persoalan itu, dan semua patuh dan bertambah cinta kepadanya.

1.2  Batasan Masalah
Penulisan makalah ini lebih difokuskan pada tragedi terbunuhnya khalifah Umar bin Khattab. Agar makalah ini tidak menyimpang dari pembahasan yang hendak dikaji, maka dibuatlah batasan masalah dalam penulisan makalah ini. Adapun batasan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
2.1 Jerih payah Umar di masa kekhalifahannya.
2.2 Ingin Segera Kembali Kepada Tuhannya.
2.3 Umar ditikam oleh Abu Lu’lu’ah orang kafir Persia.                             
2.4 Umar menanyakan siapa yang membunuhnya?.
2.5 Cerita-cerita sebelum Umar terbunuh.
2.6 Ka’b Al-Akbar dan Ramalannya.                   
2.7 Muslimin minta Umar menunjuk pengganti.          
2.8 Kisah tentang sebuah musyawarah.          
2.9 Umar memikirkan nasib Muslimin yang sesudahnya.         
2.10 Keinginannya menyelesaikan utang.
2.11 Ingin dimakamkan di samping makam Rasulullah dan Abu Bakr. 
2.12 Betapa takutnya ia akan perhitungan dengan Tuhannya .              
2.13 Dimandikan, dikafani dan dimakamkan.

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1)      Untuk mengetahui tragedi terbunuhnya terbunuhnya khalifah Umar bin Khattab.
2)      Untuk mengetahui kondisi Umat Islam sepeninggal khalifah Umar bin khattab.
3)      Untuk memenuhi tugas ujian tengah semester  mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

1.3  Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan metode kepustakaan, yaitu dengan mengambil berbagai sumber dari beberapa literatur seperti dari buku, artikel, ataupun dari internet.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Jerih payah Umar di masa kekhalifahannya
Dengan keadaan yang makmur pada masa pemerintahan Umar, tidak heran jika orang Arab kemudian menjadi pusat perhatian dunia, dari ujung barat sampai ke ujung dunia timur. Sebelum masuk Islam, mereka merupakan masyarakat pedalaman yang hidup hanya untuk dirinya dan tunduk kepada pengaruh pihak lain.
Alangkah besarnya jerih payah Umar yang selama sepuluh tahun dicurahkan untuk memikul beban tanggung jawab yang begitu berat. Contohnya, perhatian Umar akan sektor kehidupan sosial benar-benar memajukan kekhalifahan Islam, pembangunan beliau dalam bidang pendidikan, ekonomi dan tata niaga pemerintahan dan negara benar-benar membawa kemajuan bagi Islam dibalik jiwa sederhana dan ketegasannya Allahu yarham.
Berapa umur Umar sesudah menempuh sepuluh tahun sebagai Amirulmukminin? Ibn Asir mengatakan; “Ia dilahirkan empat tahun sebelum perang Fijar, dan umumnya ketika itu lima puluh lima tahun, ada yang mengatakan enam puluh tahun, juga dikatakan enam puluh tiga tahun dan beberapa bulan dan ini yang benar atau dikatakan enam puluh satu tahun. “Dalam sebuah sumber disebutkan ia berusia enam puluh tiga tahun. Dari semua sumber ini tampak bahwa umurnya antara lima puluh lima dengan enam puluh lima tahun. Besar sekali dugaan bahwa umurnya sudah melampui enam puluh tahun. Bahwa ia hidup telah menyiksa diri dan lebih suka hidup sengsara sepanjang ia menjadi khalifah sampai-sampai orang khawatir ia akan menemui ajalnya saan terjadi musim kelaparan, maka wajar sekali bila dalam usia itu terasa sangat berat, terutama bagi orang yang sudah pernah mengenal hidup senang dan mewah, ditambah lagi dengan tanggung yang begitu besar. Beban itu juga sangat terasa lebih berat. Di samping itu ia mendapat kesempatan beristirahat atau bersenang-senang atau akan meringankan segala beban dalam memikul tanggung jawab itu, dari persoalan Negara yang besar pada masanya sampai kepada yang sekecil-kecilnya.


2.2 Ingin Segera Kembali Kepada Tuhannya
Seperti sudah kita ketahui, Umar menunaikan ibadah haji tiap tahun dan mengundang para wakil dan para pejabat. Pada musim haji di Makkah itu mereka dating untuk dimintai pertanggungjawaban mengenai segala tugas mereka dan bersama-sama ia mengatur segala kepentingan wilayah mereka. Seperti biasa, pada tahun ke-23 H ini ia melaksanakan ibadah haji, dan kembali bersama -sama dengan para istri Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah melakukan manasik dan bertolak dari Mina cepat-cepat, ia tinggal di tempat yang datar, menimbun seonggok pasir lalu ujung bajunya dihamparkan dan ia terlentang sambil; mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata: “Allahumma ya Allah, umurku kini sudah bertambah, tulangku sudah rapuh, kekuatanku pun sudah banyak berkurang dan rakyatku tersebar ke mana-mana, maka kembalikanlah aku kepada-Mu tidak dalam keadaan lemah ataupun bersalah. “Doa ini tidak diucapkan orang sebelum mencapai umur enam puluh tahun, terutama jika dalam keadaan jasmani yang tegap dan kuat seperti halnya dengan Umar.
Perasaan Umar bahwa ajalnya sudah dekat , tanpa sakit, selain merasakan tenaganya yang makain lemah dan badan letih, memaksanya sering berpikir dan merenung. Tak banyak orang selama ia dalam sehat afiat yang berbicara dalam hatinya, seperti yang dialami Umar, kendati ada sebagian orang merasakan dekatnya ajal pada permulaan sakitnya yang terakhir. Adakah Umar termasuk orang yang merasakan akan terjadinya sesuatu sebelum terjadi? Atau karena usia yang sudah makin lanjut dan tebaga yang sudah berkurang dengan rakyatnya yang sudah begitu luas membuatnya berpikir tentang ajalnya yang sudah dekat, dan berdoa  kepada Allah agar ia dipanggil kembali kepada-Nya? Kita bebas menjawab sendiri. Tetapi kalangan sejarawan Muslimin mengutip berbagai banyak sumber.

2.3 Umar ditikam oleh Abu Lu’lu’ah orang kafir Persia
Sebelum matahari terbit hari Rabu itu tanggal empat Zulhijjah tahun ke-23 H Umar keluar dari rumahnya hendak mengimani salat subuh. Ia menunjuk beberapa orang di Masjid agar mengatur saf sebelum shalat. Kalau barisan mereka sudah rata dan teratur, ia datang dan melihat saf pertama. Kalau ada yang berdiri lebih maju atau mundur, diaturnya dengan tongkatnya. Kalau semua sudah teratur di tempat masing-masing, mulai ia bertakbir untuk shalat. Saat itu dan hari itu tanda-tanda fajar sudah mulai tampak. Baru saja ia mulai niat shalat hendak bertakbir tiba-tiba muncul seorang laki-laki di depannya berhadap-hadapan dan menikamnya dengan khanjar tiga atau enam kali, yang sekali memngenai bawah pusar. Umar merasakan panasnya senjata itu dalam dirinya, ia menoleh kepada jemaah yang lain dan membenyangkan tangannya seraya berkata: “ Kejarlah anjing itu; dia telah membunuhku!” Dan anjing itu Abu Lu’lu’ah Fairuz, budak Al-Mughirah. Dia orang Persia yang tertawan di Nahawand, yang kemudian menjadi budak milik Al-Mughirah bin Syu’bah. Kedatangannya ke Masjid itu sengaja membunuh Umar di pagi buta itu. Ia sudah bersembunyi di bawah pakaiannya dengan menggegam bagian tengahnya khanjar bermata dua yang tajam. Ia bersembunyi di salah satu sudut Masjid. Begitu shalat dimulai ia langsung bertindak. Sesudah itu ia menyeruak lari hendak menyelamatkan diri. Orang gempar dan kacau, gelisah mendengar itu. Orang banyak datang hendak menangkap dan menghajar anjing itu.  Tetapi Fairuz tidak member kesempatan menangkapnya. Malah ia menikam ke kanan kiri hingga ada dua belas orang yang kena tikam, enam orang meninggal kata sumber dan menurut sumber yang lain sembilan orang. Dalam pada itu datang seorang dari belakang dan menyelubungkan bajunya kepada orang itu sambil menghempaskannya ke lantai. Yakin dirinya pasti akan dibunuh, fairuz bunuh diri dengan khanjar yang digunakannya menikam Amirulmukminin.
Tikaman yang mengenai bawah pusarnya itu telah memutuskan lapisan kulit bagian dalam dan usus lambung yang dapat mematikan. Konon Umar tak dapat berdiri karena rasa perihnya tikaman itu, dan terhempas jatuh. Abdur-Rahman bin Auf segera maju menggantikannya mengimami shalat. Ia meneruskan shalat itu dengan membaca dua surat terpendek dalam Qur’an: Al-Asr dan Al-Kaustar. Ada juga dikatakan bahwa orang jadi kacau-balau setelah Umar tertikam dan beberapa orang lagi di sekitarnya. Mereka makin gelisah setelah melihat Umar diusung ke rumahnya di dekat Masjid orang ramai tetap kacau dan hiruk-pikuk sehingga ada yang berseru: shalat! Matahari sudah terbit! Mereka mendorong Abdur-Rahman bin Auf dan dia maju shalat dengan dua surat pendek tersebut.   

2.4 Umar menanyakan siapa yang membunuhnya?
Selesai shalat berjamaah mereka segera terpencar ke samping Masjid dan ke Butaita. Pembicaraan mereka terpusat hanya pada peristiwa yang mengerikan yang terjadi di depan mata mereka itu. Secepat kilat berita itu pun tersebar ke seluruh Madinah. Penduduk yang belum bangun segera terbangun dari tidur, laki-laki, perempuan dan anak-anak. Mereka semua cepat-cepat keluar ingin mengetahui berita yang lebih jelas mengenai peristiwa yang luar biasa ini. Yang lain, yang mengalami cedera di bawa ke rumah masing-masing, ada yang mengerang kesakitan karena luka-lukanya. Kalangan terkemuka juga datang meminta penjelasan. Abdullah bin Annas berkata: “ Saya masih di tempat Umar dan dia masih juga dalam keadaan tidak sadarkan dirti sampai terbit pagi. Pagi itu ketika sadar ia melihat ke dalam wajah kami, lalu bertanya: ‘Bukan orang Islam yang meninggalkan shalat.’ “Setelah itu Ibn Abbas keluar memenuihi keinginan Umar. Ia berseru kepada orang banyak: Saudara-saudara, Amirulmukminin bertanya: Adakah peristiwa ini hasil musyawarah pemuka-pemuka kalian? Orang merasa ketakutan mendengar kata-kata ditunjukkan kepada mereka itu. Dengan suara serentak mereka semua berkata: Semoga Allah melindungi kita, kami tidak tahu. Mana mungkin itu akan terjadi. Kalau mereka tahu niscaya mereka bersedia menebus Umar dengan anak-anak mereka dan nyawa mereka sendiri! Ibn Abbas bertanya lagi: Lalu siapa yang menikam Amirulmumkminin? Jawab mereka: Ia ditikam oleh musuh Allah Abu Lu’lu’ah budak Mughirah bin Syu’bah.
Umar sedang membujur di tempat tidur menunggu Ibn Abbas kembali membawa jawaban atas pertanyaannya itu, sambil menunggu kedatangannya seorang tabib yang diminta oleh keluarganya. Setelah Ibn Abbas kembali dan menyampaikan apa yang dikatakan orang banyak itu, dan disebutnya juga bahwa yang menikamnya Abu Lu’lu’ah dan yang juga menikam beberapa orang kemudian menikam dirinya. Umar berkata “ Alhamdulillah bahwa saya tidak dibunuh oleh muslim. Tidak mungkin orang Arab yang membunuhnya.
Sementara Umar mendengarkan apa yang dikatakan orang yang disampaikan oleh Ibn Abbas, dan meminta pendapat tabib serta mendengarkan segala peringatannya, kaum Muslimin di Masjid dan di sekitarnya dalam kelompok-kelompok masih membicarakan apa gerangan yang mendorong Abu Lu’lu’ah  sampai melakukan perbuatan kejinya itu. Mengenai hal ini kalangan sejarawan mengutip beberapa sumber, yang sebagian barangkali berhubungan dengan pembicaraan kelompok-kelompok itu, dan ada pula yang agaknya mendiskusikan sumber-sumber itu. Ada yang menerima, ada pula yang menolak, dan sebagian lagi menganggapnya hanya cerita dongeng.

2.5 Cerita-cerita sebelum Umar terbunuh
Dalam at-Tabaqat Ibn Sa’at menceritakan sebuah peristiwa yang didasarkan kepada Jubair bin Mu’im, bahwa ketika dalam ibadah hajinya yang terakhir itu Umar sedang berdiri di pegunungan Arafah, tiba-tiba ia mendengar ada orang berteriak: Hai Khalifah! Orang lain juga ada yang mendengar,  dan mereka sedang meramal dengan burung menyiapkan bekal untuk perjalanan. Maka bertanya: Mengapa? Celakalah Anda! Jubair marah kepada oranmg itu seraya berkata: Jangan menghina dia! Keesokannya Umar sedang berdiri di Aqabah melontar jumrah dan Jubair juga menyertainya tiba-tiba kepala Umar terkena lemparan batu kerikil hingga berdarah. Jubair mendengar orang berkata dari gunung itu: “ Demi yang punya Ka’bah, biar tahu, sesudah tahun ini Umar tidak akan pernah lagi dalam keadaan begini!” Suara ini jug ayang kemarin meneriakkan: “ Hai Khalifah! Khalifah!” .
At-Tabari, Ibn Al-Asir dan yang lain menceritakan, bahwa sepulang dari haji pada suatu hari ketka Umar sedang berkeliling di pasar Abu Lu’lu’ah menemuinya dan bertanya kepadanya: Amirulmukminin, bicarakan soal saya dengan Mughirah bin Syu’bah, sebab pajak yang dikenakan kepada saya terlalu tinggi. Berapa pajak yang dikenakan kepada Anda? Tanya Umar. Dulu dua dirham tiap hari, jawab orang lain. Pekerjaan Anda apa? Tanya Umar lagi, yang dijawabnya: Saya tuykang kayu, pemahat dan pandai besi. Melihat pekerjaan semacam itu, pajak itu menirut hemat saya tidak banyak. Saya dengar Anda mengatakan : Kalau saya mau dapat membuat penggilingan denagn tenaga angin? Ya, jawab orang itu. Buatkan sebuah  buat saya, kata Umar. Kalau saya menjadi bahan pembicaraan orang di timur dan di barat! Kemudian ia pergi meninggalkan Umar. Umar berkata: Budak itu tadi telah mengancamku!

2.6 Ka’b Al-Akbar dan Ramalannya
Setelah itu Umar pulang. Keesokan harinya datang Ka’b Al-Akbar dan mengatakan kepada Umar: Amirulmukminin, ketahuilah bahwa dalam tiga hari ini Anda akan meninggal. Ka’b adalah salah satu pemuka pendeta agama Yunani pada masa Nabi, dan ia sering mengunjungi Nabi untuk memperlihatkan kecenderungan kepada Islam. Dengan menunda pengumuman keislamnya itu sampai dapat memasukan semua tanda-tanda yang terdapat dalam kitab suci masyarakatnya tentang Nabi dan sahabat-sahabatnya itu. Sampai kekhalifahan sudah di tangan Usman dia baru  mengumumkan keislamannya. Mereka heran dengan peringatan Ka’b itu. Umar menyakan: Dari mana Anda tahu? Saya melihatnya dari kitab suci Taurat jawabnya. Umara terkejut dengan kata-katanya dan berkata: Masya Allah! Tidak. Kata Ka’b, bukan nama Anda tetapi sifat-sifat dan sosok Anda yang menandakan bahwa ajal sudah sampai. Karena Umar tidak merasa sakit dan mengalami gangguan kesehatan ia makin heran dengan kata-katanya itu. Sesudah itu ia tidak pernah menaruh perhatian khusus.
Hari berikutnya Ka’b datang lagi dan berkata: Amirulmukminin, sudah berlalu sehari, tinggal dua hari. Keesokan harinya setelah itu katanya lagi: Sudah berlalu dua hari, tinggal lagi sehari semalam,, yakin buat Anda masih ada waktu sampai besok pagi. Keesokan harinya baru subuh Abu Lu’lu’ah menikam Umar dengan tikaman yang mematikan. Sesudah kaum Muslimin berdatangan menengok Umar Ka’b juga ikut masuk untuk menjenguknya.
Sir William Muir menguraikan panjang lebar cerita Ka’b ini dalam Annnals of the Early Caliphate, yang dilanjutkan denag katanya: “Sukar sekali kita mengetahui bagaimana mula timbulnya cerita yang aneh ini. Barangkali Ka’b memperingatkan Umar setelah ia melihat tanda-tanda pada Abu Lu’lu’ah yang hendak menantang dan mengancam itu. “Dan dapat kita simpulkan dari pembicaraan Abu Lu’lu’ah Umar dan dari cerita Ka’b sendiri, bahwa orang Persia itu mengancam Umar, dan orang Yahudi itu menunjukkan waktu akan terjadinya pembunuhan tiga hari sebelum dilaksanakan. Tak ada bayangan pada seseorang denagn dugaan bahwa kitab-kitab suci akan menentukan peristiwa-peristiwa sampai terinci itu. Kitab-kitab suci itu semua mengembalikan segala yang gaib kepada Allah. Kalau begitu, segala rahasia yang akan terjadi itu tentu sudah diketahui ole Ka’b, lalu ia menyampaikan peringatan kepada Umar. Tetapi sesudah ada ancaman dari Abu Lu’lu’ah Umar tidak menghiraukannya, maka terjadilah apa yang terjadi. Peringatan Ka’b dan tikaman Abu Lu’lu’ah menunjukkan bahwa dalam banyak hal ini ada rahasia yang ketika terjadi peristiwa kejahatan itu tidak tampak, tetapi baru terlihat sesudah kejadian.


2.7 Muslimin minta Umar menunjuk pengganti
Jamaah di Masjid bertanya-tanya gerangan apa yang mendorong Abu Lu’lu’ah  melakukan kejahatan itu. Umar sedang membujur di tempat tidur di rumahnya sementara tabib mengatakan kepadanya supaya ia berpesan. Pemuka-pemuka Muslimin berbicara kepadanya mengenai apa yang telah menimpa dan menimpa kaum Muslimin, dan apa yang terjadi jika ajal Khalifah yang agung itu sudah ditentukan oleh Allah sampai di situ. Tentang siapa yang akan menggantikan Umar, itulah yang lebih banyak menyita pikiran mereka dan pikiran Umar sendiri. Adakah kita lihat dia melakukan seperti yang sudah dilakukan oleh Abu Bakr lalu memilih orang yang akan menggantikannya, atau membiarkan mereka yang akan menentukan sendiri seperti dalam rapat mereka di Saqifah Banu Sa’idah ketika Allah telah telah memanggil Rasul-Nya? Disebutkan bahwa Ibn Umar (putra khalifah Umar) ketika itu berkata kepada Umar bin Khattab: Tidakkah Anda akan menunjuk seorang pengganti? Siapa? Tanya Umar. Dijawab: Dengan berijtihad, karena Allah bukan pemilik mereka! Bagaimana kalau Anda mengirim utusan kepada penanggung jawab daerah Anda. Tidakkah Anda ingin menunjuk seseorang menjadi pengganti sampai ada jalan  lain? Ia menjawab: Ya, memang. Bagaimana kalau Anda mengutus orang kepada gembala kambing Anda, tidakkah Anda ingin digantikan oleh seseorang sampai sampai ada jalan lain? Kata Umar: “Kalaupun saya menunjuk seorang pengganti maka yang akan menggantikan saya harus orang yang lebih baik dari saya, dan kalau saya tinggalkan, saya juga ditinggalkan orang yang lebih baik dari saya. “ Disebutkan juga bahwa ketika Sa’id bin Zaid bin Amr berkata kepada umar: Kalau Anda menunjuk seseorang dari kalangan Muslimin orang sudah percaya kepada Anda, dijawab ole Umar: Saya sudah melihat sahabat-sahabat saya mempunyai ambisi yang buruk! Kemudian katanya lagi: Andaikata salah seorang dari dua tokoh itu masih ada, soal ini akn saya serahkan kepada orang itu. Dua ornag yang saya percayai itu: Salim bekas budak Abu Huzaifah atau Abu Ubaidah bin Jarrah.
Sumber-sumber menunjukkan bahwa pemilihan khalifah belum lagi mempunyai ketentuan yang sudah pasti dalam Islam, juga menunjukkan bahwa sejak pertama kali kedaulatan membentang luas, Muslimin ketika itu sudah mulai bersaing satu saam lain dan saling iri hati. Dalam hal inilah Umar berkata: “Saya sudah melihat sahabat-sahabat saya yang mempunyai ambisi yang buruk!” Adanya ambisi buruk inilah yang membuatnya ragu menunjuk seorang pengganti untuk mengantikan kedudukannya, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakr tatkala ia menunjuk penggantinya. Mengenai kata-katanya bahwa dia akan menunjuk Salim bekas budak Abu Huzaifah atau Abu Ubaidah bin Jarrah sekiranya salah seorang dari mereka masih hidup. Maksudnya dengan itu menurut dugaan ingin menjauhi situasi yang begitu genting kendati yang menghadapinya Umar, yang selama hidupnya dikenal sangat berterus terang, tegas dan pasti dalam segala hal.

2.8 Kisah tentang sebuah musyawarah
Umar sangat mengharapkan sekiranya musyawarah yang dilakukan sahabat-sahabatnya tentang siapa yang akan menggantikan dirinya, selesai dan berhasil memilih penggantinya sebelum ia menemui ajal. Supaya sesudah itu ia dapat meninggalkan nasib orang Islam dan kedaulatan Islam dengan keadaan tenang. Oleh karenya disuruhnya Abdullah anaknya ikut bermusyawarah bersama mereka, tanpa berhak mencampuri persoalan itu karena hubungan mereka dengan dia. Kata Abdullah bin Umar: Mereka kemudian bermusyawarah. Usman memanggilku sekali atau dua kali supaya aku melibatkan diri dalam soal ini, tetapi aku menolak, mengingat apa yang dikatakan ayah mengenai masalah mereka itu. Kecuali demi kebenaran jarang sekali saya melihat dia mengerakkan bibirnya mengenai soal apa pun. Setelah  Usman mendesak berulang kali, saya katakan kepadanya: Tidakkah Anda mengerti juga? Kalian sudah mau mengangkat seoarang Amir sementara Amirilmukminin masih hidup! Sungguh, seolah-olah saya membangunkan Umar dari tidurnya lalu berkata: ‘Berilah waktu, kalau terjadi sesuatu terhadap diri saya, biarlah Suhaib mengimani shalat kalian selama tiga malam ini. Setelah itu bersepakatlah kalian. Barang siapa di antara kalian ada yang mengangkat diri sebagai pemimipin tanpa kesepakatan kaum Muslimin, penggallah lehernya.’
Umar  seolah-olah khawatir mereka akan berselisih setelah ia wafat, dan perselisihan mereka akan menjurus pada pemberontakan. Kelompok Banu Hasyim akan membela Ali, golongan Abu Mua’it akan membela Usman dan golongan militer akan membela Zubair, Talhah atau Sa’d dan mereka semua panglima-panglima terkemuka. Untuk itu ia memanggil kaum Anshar, dan katanya kepada mereka: “Masukkanlah mereka ke dalam sebuah rumah selama tiga hari. Biarlah mereka bersikap yang sebenarnya, kalau tidak masuklah kalian dan penggal kepala mereka.” Kemudian ia memanggil Abu Talhah Al-Ansari, orang yang terbilang pemberani yang tak banyak jumlahnya, dan katanya kepadanya: “ Berjaga-jagalah di pintu dan jangan biarkan siapa pun masuk.” Sumber lain menyebutkan ia berkata: “Abu Talhah, bergabunglah Anda dengan lima puluh orang Anshar rekan-rekan Anda dan bersama beberapa orang anggota Majelis Syura. Saya rasa mereka akan bertemu di rumah salah seorang dari mereka. Berjaga-jagalah di pintu bersama teman-temanmu itu. Jangan biarkan dari mereka ada yang masuk, juga mereka jangan dibiarkan berlarut-larut sampai tiga hari belum ada yang terpilih. Andalah yang menjadi wakil saya pada mereka!”

2.9 Umar memikirkan nasib Muslimin yang sesudahnya
Umar tidak cukup hanya menyerahkan majelis syura itu ke tangan keenam tokoh itu yang ketika Rasullah wafat merasa sangat puas terhadap mereka bahkan ia ingin sekali berpesan kepada khalifah sesudahnya, yang menurut pendapatnya akan merupakan kebijakan yang lebih baik, Negara akan lebih tenteram dan dengan itu Islam akan lebih terhormat. Antara lain dalam pesannya itu ia mengatakan: “ Pesan saya kepada khalifah yang akan datang bertakwalah kepada Allah, menjaga kaum Muhajirin yang mula-mula, menjaga hak-hak mereka dan menghormati mereka. Saya berwasiat agar memperhatikan segenap penduduk daerah-daerah perbatasan, sebab mereka itulah perisai Islam dan momok bagi lawan. Para pemungut pajak hendaknya memberlakukan hanya atas kelebihannya dan dengan kerelaan pihak yang bersangkutan. Mengenai kaum Anshar yang telah bertempat tinggal (di Madinah) dan sudah beriman, saya menwasiatkan agar segala amal kebaikan mereka diterima baik dan segala kekurangan mereka dimaafkan. Mengenai orang-orang Arab pedalaman saya pesankan agar mereka diperhatikan. Mereka itulah asal usul orang Arab dan menjadi bahan baku Islam. Ambillah dari yang berkelebihan dari mereka dan berikanlah kepada kaum fakir miskin di kalangan mereka. Mengenai mereka yang berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya (kaum Zimmi) saya berpesan agar segala janji dengan mereka dipenuhi dan janganlah mereka dipaksa di luar kemampuan mereka, dan agar memerangi siapa pun yang bersembunyi di belakang mereka.”
Selama terkena tikam itu Umar selalu memikirkan nasib Islam. Sepeninggalnya nanti ia ingin sekali bibit-bibit pendapatnya mengenai hasil ijtihadnya itu jangan disia-siakan, mana-mana yang belum meyakinkan dan belum ada kepastian kebenarannya. Dia sudah menuliskan pendapat hasil ijtihadnya mengenai kewajiban terhadap pihak kakek di atas tulang bahu binatang pada sore hari ketika ia terkena tikam. Setelah diketahuinya bahwa bekas tikaman itu mematikan ia berkata kepada Abdullah anaknya: “Bawa ke mari tulang yang saya tulis kemarin mengenai soal kakek itu.” Maksudnya akan menghapus apa yang sudah ditulisnya itu supaya jangan diprote orang sesudah dia tak ada. Abdullah berkata: Amirulmukmunin, cukup kamilah untuk menyelaesaikan soal ini. Bagi Abdullah rupanya tidak nudah untuk menghapus dan membiarkan ayahnya yang sedang menghadapi luka-lukanya. Tetapi Umar menolak dn katanya: Tidak! Ia tidak puas sebelum tulang itu dibawa dan menghapus tulisan itu dengan tangannya sendiri.

2.10 Keinginannya menyelesaikan utang
Selain memikirkan umat Islam dan ijtihatnya sepeninggalnya nanti, hal lain yang dipikirkan beliau adalah utang beliau. Ia tak ingin meninggalkan dunia ini sebelum semua itu dijamin penyelesaiannya. Dia pernah meminjam uang delapan puluh enam ribu dirham dari baitulmal. Abdullah anaknya dipanggilnya, dan setelah hal itu dikemukakan, ia berkata: “Juallah semua harta Umar. Kalau belum dapat menutupi mintalah kepada Banu Adi, kalau belum juga mencukupi mintalah kepada Quraisy; jangan lewatkan mereka.” Abdur-Rahman bin Auf sudah mengetahui, begitu juga orang Muslimin yang lain, bahwa Umar tidak akan meminjam uang itu kalau tidak karena waktunya memang sudah tersita untuk kepentingan umat. Itu sebabnya ia berkata doleg Umar: “Semoga Allah menjauhkan Anda dan sahabat-sahabat Anda untuk berkata begini sesudah saya tak ada: ‘Kami sudah melepaskan bagian kami utuk Umar.” Lalu dengan itu kalian mau memuliakan saya tetapi menimpakan akibatnya kepada saya, dan saya akan terjerumus ke dalam soal yang tidak akan dapat menyelamatkan saya kecuali jika ada  jalan keluar dari situ!” Kemudian katanya kepada Abdullah bin Umar: Berikanlah jaminannya. Lalu Abdullah menjamin. Begitu Umar dimakamkan, anaknya itu mempersaksikan diri di hadapan majelis syura dan beberapa orang dari Anshar. Begitu berlalu hari Jum’at Abdullah bin Umar sudah membawa uang kepada Usman bin Affan atas perlunasan itu dengan mendatangkan saksi-saksi waktu penyerahan.


2.11 Ingin dimakamkan di samping makam Rasulullah dan Abu Bakr
Selesai Umar dari perhitungan di dunia, ia mengarahkan pikirannya pada yang menjadi harapannya sesudah mati. Keinginannya yang besar sekali agar ia dimakamkan di samping kedua sahabatnya, Rasulullah dan Abu Bakr, di rumah Aisyah. Sebelum itu ia memang sudh meminta izin dari Aisyah dan sudah diizinkan. Menjelang kematiannya itu ia berkata: Kalau saya mati, mintalalh izin kepadanya, kalau tidak diizilkanlah biarlah, sebab saya khawatir da mengizinkan hanya karena kedudukan saya.” Sebuah sumber menyebuykan, bahwa setelah ditikam itu Umar berpesan kepada anaknya: “Abdullah, pergilah kepada Aisyah Ummulmukminin dan katakan kepadanya: Umar berkirim salam, dan janganlah katakan Amirulmukminin; sekarang saya sudah bykan lagi amir atas mereka. Ia (Abdullah) bertanya: Dapat Ummulmukminin mengizinkan untuk dikuburkan di samping kedua sahabatnya itu. Aisyah menjawab: “Sebenarnya saya mengiginkannya untuk saya sendiri!” Tetapi hari ini saya lebih mengutamakannya daripada saya sendiri!” Setelah Abdullah kembali dan menyampaikan kepada Umar bahwa Aisyah mengizinkannya ia berkata: “ Tak ada yang lebih penting bagiku selain dari tempat berbaring itu. Abdullah bin Umar, perhatikanlah. Kalau saya mati bawalah saya ke tempat tidurku, dan bedrdirilah di pintu, katakanlah: Umar bin Khattab meminta izin, jika diizinkan, masukkanlah aku di perkuburan Muslimin.

2.12 Betapa takutnya ia akan perhitungan dengan Tuhannya
Semua yang telah dijalankan Umar bin Khattab telah membuktikan keimanannya yang sungguh-sungguh, dan perasaan orang besar ini menunjukkan keagungannya selama memikul tanggung jawab dalam kepemimpinannya sebagai Amirilmukminin. Kemenangan yang dicapainya selama masanya itu tidak sampai memperdayanya, kemenangannya terhadap Persia dan Rumawi tidak membuatnya pongah; ia tidak merasa bangga karena pembicaraan dan pujian orang kepadanya. Malah ia khawatir kalau-kalau pernah ia berbuat zalim terhadap kaum lemah, dan rintihan orang lemah ini akan sampai ke langit dan Allah akan mengukurnya dengan semua amal kebaikan Umar!
Kekhawatiran inilah yang membuatnya melihat kepada putrinya Hafsah Ummulmukminin, yang ketika menjenguknya sambil menangis dan meratap ia berkata: Oh, sahabat Rasulullah, mertua Rasullulah, Amirulmukminin! Tetapi Umar berkata: “ Dengan hak yang ada pada saya atas engkau saya ingin melarangmu meratapi saya lagi, segundah sekali ini. Tetapi matamu bukanlah milik saya. Tidak baik meratapi mayat yang hanya akan membawa kebencian para malaikat.” Umar mee=mang melarang keluarganya menangisi  dan meratapinya. Larangan Umar terhadap orang yang menangis dan meratapi sangat keras. Tatkala melihat susu yang keluar dari bekas lukanya pernah Suhaib berkata: “ Oh Umar! Oh Saudaraku! Siapa yang bersama kami sesudah Anda!?” Oleh Umar ia ditegur: Sudah, sudahlah, saudaraku! Tidaklah Anda merasakan bahwa orang yang ditangisi itu akan diazab?!
Juga Umar khawatir sesudah ia meninggal akan dikafani dan dikuburkan secara berlebihan oleh keluarganya. Maka ia berpesan jangam dimandikan dengan muskus atau membawa muskus di dekatnya, seperti yang biasa dilakukan orang Arab yang berkedudukan. Kepada anaknya ia berkata: “ Sederhanakanlah kafanku, sebab jika menurut pabdangan Allah ada perbuatanku yang baik, Allah menggantinya dengan lebih baik, meskipun tidak semestinya aku akan begitu. Lepaskanlah pakaianku dan percepat, sederhanakanlah liang lahadku, dan jangan ada perempuan yang ikut mengantarkan. Janganlah memujiku yang bukan semestinya, sebab Allah sudah lebih tahu tentang aku. Kalau membawaku, percepatlah langkah kalian. Kalau ada perbuatanku yang baik dalam pandangan Allah kalianlah yang akan mengantarkan saya pada yang lebih baik itu buat saya, meskipun tidak semestinya saya akan begitu. Dan kalau sebaliknya yang ada padaku, kalian telah membuang segala bencana yang kalian pikul di bahu kalian itu.”
Abdullah bin Umar mendengarkan wasiat itu. Ia duduk di lapik ayahnya dan kepala ayahnya diletakkan di pangkuannya. Setelah merasakan patsi akan menemui Tuhannya, ia berkata kepada anaknya: “Baringkan aku di tanah.” Abdullah menjawab:” Ayah, paha saya sama dengan tanah!” Umar berkata lagi: “Baringkanlah aku di tanah!” Sesudah ia dibaringkan di tanah oleh anaknya, ia menyilangkan kedua kakinya seraya berkata: “Celakalah aku! Celakalah ibuku kalau Allah tidak mengampuniku!” Kata-kata itu diulang-ulangnya sampai roh lepas dari jasad.

2.13 Dimandikan, dikafani dan dimakamkan
Umar dimandikan dan dikafani dengan tiga lapis kain, selanjutnya dibawa ke Masjid dan dishalatkan oleh Suhaib. Setelah mereka mengusung jenazah itu sampai di depan pintu rumah Aisyah, berhenti. Saat itu Abdullah bin Umar berkata: “Umar bin Khattab meminta izin untuk dimakamkan bersama sahabatnya.” Dijawab oleh Aisyah: “ Masukkanlah dengan selamat.”
Mereka masuk ke bilik Rasulullah, dan jenazah itu diturunkan ke tempat peraduan terakhir. Kepala Abu Bakr ditempatkan di bagian bahu Nabi, dan kepala Umar di bagian bahu Abu Bakr. Dan Abdullah bin Umar yang bertindak meletakkan jasad itu ditempatnya. Yang juga turun bersama-sama dia kelima anggota majelis syura: Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Abdur-Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas dan Zubaur bin Awwam! Sedang Talhah bin Ubaidillah masih berada di luar kota, sehingga tidak dapat menghadiri kematian dan penguburan Umar.
Selesai menguburkan dan menimbun liang lahat, orang-orang yang berada di dekat tempat itu berkumpul di Masjid dengan kesedihan yang mendalam mencekam kalbu mereka. Rasa duka telah meremas jantung mereka, kematian seorang tokoh yang jarang ada tolok bandingnya Amirulmukmunin seorang pemimpin umat beriman yang selama ini berkorban demi kepentinagn mereka, mereka yang merasa gamang dan gentar menghadpi ketegasan dan tindakannya yang keras, yang selama sepuluh tahun enam bulan bersama-sama dengan mereka. Selama itu ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang paling banyak berbakti, paling adil dan sangat bertakwa. Karena itu, makin lama kecintaan mereka kepadanya semakin besar.















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Khalifah Umar bin Khattab memangku jabatan Amirulmukminin selama sepuluh tahun sekian bulan, beliau mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah dan agama Allah, dengan melupakan diri dan keluarganya sama sekali. Pikiran, kalbu dan segenap jiwa raganya dikerahkan semata-mata hanya untuk memikul tanggung jawab yang begitu besar yang diletakkan di bahunya.
Khalifah Umar bin Khattab telah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah hingga akhirnya beliau wafat pada usia sekitar enam puluhan. Abu Lu’lu’ah atau dikenal dengan Fairuz adalah orang kafir yang berasal dari Persia. Penikaman tersebut terjadi pada hari Rabu tepatnya tanggal empat Zulhijjah tahun ke-23 H, ketika khalifah Umar bin Khaatab hendak melaksanakan shalat subuh berjamaah dengan para sahabatnya di Masjid. Abu Lu’lu’ah  menikam beliau dengan khanjar tiga atau enam kali, yang sekali mengenai bawah pusar dan khalifah Umar merasakan panasnya senjata itu dalam dirinya. Tikaman yang mengenai bawah pusarnya itu telah memutuskan lapisan kulit bagian dalam dan usus lambung yang dapat mematikan. Konon khalifah Umar bin Khattab tidak dapat berdiri karena rasa perihnya tikaman itu, dan terhempas jatuh.
Sebelum penikaman itu terjadi, ada seseorang yang telah meramalkan akan terjadinya penikaman tersebut. Seseorang itu bernama Ka’b. Ka’b adalah salah satu pemuka pendeta agama Yunani pada masa Nabi, dan ia sering mengunjungi Nabi untuk memperlihatkan kecenderungan kepada Islam. Dia telah meramalkan bahwasanya ajal  khalifah Umar bin Khatab sudah dekat. Tetapi, khalifah Umar tidak memperdulikannya. Hingga terjadilah penikaman yang dilakukan oleh Abu Lu’lu’ah. Dan Ka’b manyatakan keislamannya pada masa khalifah Usman bin Affan.
Dalam keadaan berbaring karena terkena tikam itu, khalifah Umar bin khattab pun masih memikirkan nasib umat Islam. Beliau khawatir dengan keadaan umat Islam sepeninggal beliau, karena dikhawatirkan mereka akan berselisih setelah beliau wafat, dan perselisihan mereka akan menjurus pada pemberontakan. Kelompok Banu Hasyim akan membela Ali, golongan Abu Mua’it akan membela Usman dan golongan militer akan membela Zubair, Talhah atau Sa’d dan mereka semua panglima-panglima terkemuka. Oleh sebab itu, khalifah Umar menyuruh para sahabatnya untuk melakukan musyawarah. Khalifah Umar sangat mengharapkan sekiranya musyawarah yang dilakukan sahabat-sahabatnya tentang siapa yang akan menggantikan dirinya, selesai dan berhasil memilih penggantinya sebelum ia menemui ajal. Supaya sesudah itu ia dapat meninggalkan nasib orang Islam dan kedaulatan Islam dengan keadaan tenang.
Selain memikirkan umat Islam dan ijtihatnya sepeninggalnya nanti, hal lain yang dipikirkan beliau adalah utang beliau. Beliau tak ingin meninggalkan dunia ini sebelum semua itu dijamin penyelesaiannya. Beliau  pernah meminjam uang delapan puluh enam ribu dirham dari baitulmal.
Akhirnya, khalifah Umar bin Affan dimakamkan di rumah Aisyah istri Rasulullah SAW. Tetapi sebelum dimakamkan, khalifah Umar bin Khattab dimandikan dan dikafani dengan tiga lapis kain, selanjutnya dibawa ke Masjid dan dishalatkan. Kemudian para pengantar jenazah khalifah Umar, masuk ke bilik Rasulullah, dan jenazah itu diturunkan ke tempat peraduan terakhir. Kepala Abu Bakr ditempatkan di bagian bahu Nabi, dan kepala Umar di bagian bahu Abu Bakr.
Selesai menguburkan dan menimbun liang lahat, orang-orang yang berada di dekat tempat itu berkumpul di Masjid dengan kesedihan yang mendalam mencekam kalbu mereka. Rasa duka telah meremas jantung mereka, kematian seorang tokoh yang jarang ada tolok bandingnya Amirulmukmunin seorang pemimpin umat beriman yang selama ini berkorban demi kepentingan mereka, mereka yang merasa gamang dan gentar menghadapi ketegasan dan tindakannya yang keras, yang selama sepuluh tahun enam bulan bersama-sama dengan mereka. Selama itu ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang paling banyak berbakti, paling adil dan sangat bertakwa. Karena itu, makin lama kecintaan mereka kepadanya semakin besar.

3.2 Saran
Sebagai umat Islam dan generasi muda penerus negara ini,  yang akan membawa negara ini ke arah yang lebih maju dengan mengikuti perkembangan zaman yang semakin modern, tanpa meninggalkan kebudayaan yang kita memiliki dengan terus berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist, seharusnya kita mempunyai jiwa kepemimpinan seperti khalifah Umar bin Khattab. Beliau adalah seorang khalifah yang sangat bertanggung jawab terhadap amanah yang telah diberikan kepada beliau. Dalam keadaan sakit yang parah pun karena penikaman yang dilakukan Abu Lu’lu’ah, beliai selalu memikirkan keadaan umat Islam sepeninggal beliau wafat. Beliau khawatir akan terjadi perselisihan antara sahabat-sahabatnya dan akan menimbulkan pemberontakan.
Oleh karena itu, mulai sekarang kita harus menanamkan pada diri kita untuk tidak selalu hanya memikirkan diri kita sendiri. Kita juga harus memikirakn orang lain. Mengingat bahwa di dunia ini kita tidak hidup sendirian, kita perlu berinteraksi dengan orang lain, kita perlu bantuan orang lain dalam mencukupi kebutuhan kita, karena kita adalah makhluk sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Djamidin, Taufiq. 2009. Tragedi Pembunuhan Tiga Khalifah. Yogyakarta: Pinush Book Publisher.
Haekal, Muhammad Husain. 2007. Umar bin Khattab. Jakarta: Mitra Kerjaya Indonesia.
Jafariyah, Rasul. 2006. Sejarah Khilafah 11-35 H. Jakarta: Al-Huda.
Syalabi. 2003. Sejarah Dan Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Pustaka Al-Husna Baru.



Tidak ada komentar: