BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sebagaimana yang telah diketahui
bahwasanya pada tahun – tahun terakhir abad pertama Hijriyah kaum Muslimin
menggeluti problematika Jabar dan ikhtiyar. Tentang hal ini ada dua sikap:
menerima dan menolak, kanan dan kiri, di Damaskus, Madinah dan Basrah, para perawi, ahl hadits, para
da’i dan para penguasa ambil bagian dalam masalah ini. Misalnya, satu kelompok
lebih condong untuk memegangi pendapat tentang adanya kebebasan kehendak.
Mereka disebut aliran Qadariyah karena mereka menetapkan bahwa manusia memiliki
kemampuan atas perbuatan-perbuatannya. Sedangkan kelompok yang lain berpendapat
bahwa manusia terpaksa, tidak bebas memilih. Karena manusia tidak mempunyai
kehendak dcan kemampuan; tidak bisa apa-apa kecuali yang dikehendaki oleh
Allah; tidak mempunyai kemampuan untuk mengerjakan sesuatu; tetapi semua
perbuatannya diciptakan oleh Allah. Mereka disebut aliran Jabariyah.
Pada awalnya ada tiga kelompok yang
mengorbankan problematika ini, dua di antaranya adalah Qadariyah dan satu
Jabariyah. Mereka dikenal berani mengritik
para khalifah Bani Umayah dan menolak banyak upaya para kahlifah
tersebut. Mereka diberi lisan yang cakap
untuk berbicara dan argumentasi yang
kuat. Mereka berjuang dalam
rangka mempertahankan pendapat, sampai menyerahkan nyawa mereka sebagai saksi –
saksi kebenaran dari prinsip – prinsip
mereka.
1.2
Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui asal – usul kemunculan aliran Jabariyah dan Qadariyah.
2.
Untuk
mengetahui tokoh-tokoh yang melopori munculnya aliran Jabariyah dan aliran Qadariyah.
3.
Untuk
mengetahui ajaran – ajaran yang terdapat dalam aliran Jabariyah dan aliran Qadariyah.
4.
Untuk
mengetahui perkembangan lebih lanjut aliranJabariyah dan aliran Qadariyah pada zaman sekarang ini (modern).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Aliran Jabariyah Dan AliranQadariyah
2.1.1.Asal-Usul Aliran Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara
yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama
jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskan melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat
Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan
majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.
Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama),
setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki
arti suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan
bahwa paham al-jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti
sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan
terpaksa. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination,
yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qadla dan qadar Tuhan (Nasution, 2009).
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang
menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh
Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adaalh bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan
manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tetapi diciptakan oleh Tuhan dan
dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat,
karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa Jabariyah adalah
amiran manusia menjadi wayang dan tuhan sebagai dalangnya (Asmi, 2004).
Adapun mengenai latar belakang lahirnya
aliran Jabariyah tidak adanya penjelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa
paham ini mucul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayah. Ketika itu para ulama
membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika
berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Pendapat yang lain mengatakan bahwa
paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat
Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir Sahara telah
memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi ynag disinari
terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata
tidak daapt memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya
tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat
untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara. Dan dalam situasi
demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan di
sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah
dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung
dengan alam, sehingga menyebabkan mereka kepada paham fatalism (Asmi, 2004).
Mengenai kemunculan faham al-jabar
ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural
bangsa Arab. Di antara para ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia
menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir
Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka kepada alam Sahara
yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam (Rozak, 2000).
Lebih lanjut, Harun Nasution
menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan
untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri.
Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya,
mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada
sikap fatalism (Rozak, 2000).
Sebenarnya benih-benih faham
al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu
terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini (Sarkowi,
2010):
a.
Suatu ketika
Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan.
Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar
dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b.
Khalifah Umar
bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika
diinterograsi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar
ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada
Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama,
hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena
menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.
Khalifah Ali
bin Abi Thalib sesuai Perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang
qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu
bertanya, “Bila perjalanan (menuju Perang Shiffin) itu terjadi dengan qadha
dan qadar Tuhan, tak ada pahal sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qadha
dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahal dan siksa sebagai balasan amal perbuatan
manusia. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan,
batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta
tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujin-Nya bagi orang-orang yang
baik.
d.
Pada
pemerintahan Daulah Bani Umayah, pandangan tentang al-jabar semakin
mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi
keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham Jabariyah.
Paparan di atas menjelaskan bahwa
bibit faham al-jabar telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, al-jabar
sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan,
baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh
yang telah disebutkan di atas (Rozak, 2000).
Berkaitan dengan kemunculan aliran
Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh
pemikiran asing, yaitu pengaruh agam Yahudi
bermadzab Qurra dan agama Kristen bermadzab Yacobit. Namun, tanpa
pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga dikalangan umat Islam. Di
dalam Al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham ini,
misalnya (Rozak, 2000):
Surat
Al-An’am (119)
وَمَالَكُمْأَلَّاتَأْكُلُوامِمَّاذُكِرَاسْمُاللَّهِعَلَيْهِوَقَدْفَصَّلَلَكُمْمَاحَرَّمَعَلَيْكُمْإِلَّامَااضْطُرِرْتُمْإِلَيْهِوَإِنَّكَثِيرًالَيُضِلُّونَبِأَهْوَائِهِمْبِغَيْرِعِلْمٍإِنَّرَبَّكَهُوَأَعْلَمُبِالْمُعْتَدِينَ
Mengapa kamu tidak mau memakan
(binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan
sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang
lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah
yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.
Surat Al-An’am (121)
وَلَاتَأْكُلُوامِمَّالَمْيُذْكَرِاسْمُاللَّهِعَلَيْهِوَإِنَّهُلَفِسْقٌوَإِنَّالشَّيَاطِينَلَيُوحُونَإِلَىأَوْلِيَائِهِمْلِيُجَادِلُوكُمْوَإِنْأَطَعْتُمُوهُمْإِنَّكُمْلَمُشْرِكُونَ
Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya
syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan
jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang
musyrik.
Surat
Al Anfal (17)
فَلَمْتَقْتُلُوهُمْوَلَكِنَّاللَّهَقَتَلَهُمْوَمَارَمَيْتَإِذْرَمَيْتَوَلَكِنَّاللَّهَرَمَىوَلِيُبْلِيَالْمُؤْمِنِينمِنْهُبَلَاءًحَسَنًاإِنَّاللَّهَسَمِيعٌعَلِيمٌ
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu
yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu
yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah
berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.
Surat Al Insaan (30)
وَمَاتَشَاءُونَإِلَّاأَنْيَشَاءَاللَّهُإِنَّاللَّهَكَانَعَلِيمًاحَكِيمًا
Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dengan demikian, latar belakang
lahirnya Jabariyah dapat dibedakan ke dalam dua factor, yaitu: pertama, faktor
internal (pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah), dan kedua, faktor eksternal (pengaruh dari luar Islam yang ikut
andil dalam melahirkan aliran ini) (Sarkowi, 2010).
Adapun yang menjadi dasar munculnya
paham ini adalah reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham
Qadariyah, kedua, terlalu tekstual pemahaman agama tanpa adanya
keberanian menakwilkan dan ketiga adaalh adanya aliran salaf yag
ditokohi Muqoptil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat
Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih (Sarkowi, 2010).
2.1.2.Asal-Usul
Aliran Qadariyah
Qadariyah mula-mula timbul sekitar
tahun 70 H/ 689 M, dipimpin oleh Ma’bad al-Juhni al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham,
pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) (Asmi,
2004).
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu
dari kata qadara yang artinya kemampuan atau kekuatan.
Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia
dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Qadariyah dipaksa untuk
nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution
menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai
qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan (Nasution,
2009).
Latar belakang timbulnya Qadariyah ini
sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayah yang dianggapnya
kejam. Apabila firqoh Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayah membunuh
orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah SWT. Demikian dan hal ini berarti
merupakan topeng kekejamannya, maka firqoh Qadariyah mau membatasi qadar
tersebut. Mereka mengatakan bahwa kalau Allah SWT. Itu adil, maka Allah SWT.
Akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat
baik. Manusia harus bebas dalam menetukan nasibnya sendiri dengan memilih
perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah SWT. Telah menentukan terlebih
dahulu nasib manisia, maka Allah SWT. Itu lazim. Karena itu, manusia harus
merdeka memilih atau ikhtiyar atas perbuatannya (khaliqul ‘af’al). Manusia
harus mempunyai kebebasan berkehendak. Orang yang berpendapat bahwa amal
perbuatan dan nasib manusia itu hanyalah tergantung kepada qadar Allah SWT
saja, selamat atas celak seseorang itu telah ditentukan oleh Allah SWT.
Sebelumnya, maka pendapat tersebut adalah sesat. Sebab pendapat tersebut
berarti menentang keutamaan Allah SWT. Dan berarti menganggap-Nya yang menjadi
sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah SWT. Melakukan kejahatan (Nasution,
2009).
Sebagian orang-orang Qadariyah mengatakan
bahwa semua perbuatan manusia yang baik itu berasal dari Allah SWT., sedangkan
perbuatan manusia yang jelek itu manusia sendiri yang menciptakannya, tidak ada
sangkut-pautnya dengan Allah SWT (Asmi, 2004).
Sehubungan pendapat Qadariyah tersebut,
sebelumnya Nabi Muhammad SAW., bersabda (Asmi, 2004):
“Dari Hudzaofah ra., berkata: Rasulullah
SAW., bersabda: Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya dan Majusi umatku ini ialah
mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barang siapa di antara mereka
itu mati, maka janganlah engkau menshalati janazahnya. Dan barang siapa di
antara mereka itu sakit, maka janganlah kamu menjenguknya. Mereka adalah
golongan Dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengaitkan mereka itu
dengan Dajjal itu”. (HR. Abu Dawud).
Mereka dikatakan Majusi, karena mereka
beranggapan adanya dua pencipta kebaikan dan keburukan. Hal ini sama persis
dengan ajaran agama Majusi atau Zaroaster yang mengatakan adanya keburukan,
gelap dan malam, disebut Ahriman atau Angramanyu (Asmi, 2004).
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak
dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Sehingga ada
beberapa versi, di antaranya (Sarkowi, 2010):
§ Ahmad Amin mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh Ma’ba dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689 M. Ma’bad
adalah seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan
Al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan
ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.
§ Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan
oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan
kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan. Demikian juga pendapat
Muhammad Ibnu Syu’ib.
§ Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain
yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada
beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini (Sarkowi, 2010);
Pertama, karena masyarakt Arab sebelum Islam
kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab
ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa
mengalah kepada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya
yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran
hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. Faham itu terus dianut
kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan,
mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap
bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu.
Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut
faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan
faham Qadariyah sebagai usaha menyebarkan faham dinamis dan kaya daya kritis
rakyat, yang paad gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang
dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta
kerajaan.
Ditinjau dari segi politik, kehadiran madzab Qadariyah sebagai isyarat
menentang politik Bani Umayah, karena kehadiran Qadariyah dalam wilayah
kekuasaannya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan
pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untyki sementara saja,
sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam
Muktazilah (Sarkowi, 2010).
2.2.Tokoh-Tokoh Penyebar Aliran Jabariyah Dan Qadariyah
2.2.1.Jahm bin Shofwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Shafwan. Ia berasal dari
khurasan,bertempat tinggal di Khuffa. Ia seorang Da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekertaris haris bin
Surais, seorang Mawali yang menentang pemerintah Bani Umaiyah di Khurasan. Ia
ditawan dan dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan Agama. Sebagi
seorang penganut dan penyebar Paham jabariyah banyak usaha yang dilakukan jahm
yang tersebar keberbagai tempat,seperti ketirmidz dan balk (Thoib, 1986).
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah (Rozak, 2000):
1.
Manusia tidak mampu
untuk berbuat apa-apa.Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2.
Surga dan neraka tidak
dikekal. Tidak kekal selai Tuhan
3.
Iman adalah ma’rifat
atau membenarkan dalam hati.Dalam hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman
yang diajukan kaum Murjiyah.
4.
Kalam Tuhan adalah
makhluk.Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti
berbicara,mendengar,dan melihat.
Begitu
pula Tuhan tidak dilihat dengan indra mata diakhirat kelak. Dengan demikian
dalam beberapa hal,pendapat Jahm hamper sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah dan
Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarah wan meyebabkan
dengan Al-mu’tazilah, Al- Murji’ah dan Al- asy’ari (al-Ghurobi, 1962).
2.2.2.Ja’d bin dirham
Al-ja’d adalah seorang Maulana bani Hakim, tiggal Di Damaskus. Dia
dibesarkan didalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan
teologi. Semula dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani umaiyah,
tetapi setelah tampak pikiran – pikirannya yang controversial, bani
Umaiyah menolaknya. Kemudian Al-ja’d lari ke kufah dan disana ia bertemu dengan
Jahm serta mentransper pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebar
luaskan.Dokterin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm.
Al-Ghuraby menjelaskan sbb (Rozak, 2000):
1. Al- Quran itu adalah Mahkluk. Oleh karena itu, dia baru.Sesuatu yang baru
itu tidak dapat di sefatkan kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara,
melihat dan mendengar.
2.3.Ajaran-Ajaran dan Perkembangan Aliran Jabariyah Dan Qadariyah
2.3.1.Ajaran dan perkembangan Aliran Jabariyah
Ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok,
yaitu ekstrim dan moderat (Sarkowi, 2010).
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm
bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mampu untuk
berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan
tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal
dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam
Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat. Di antara pendapat
Jahm adalah (Sarkowi, 2010):
· Surga dan neraka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah.
· Iman dalam pengertiannya adalah ma’rifat atau membenarkan dengan hati, dan
hal ini sama dengan konsep ynag dikemukakan oleh kaum Murji’ah.
· Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia
seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat
dengan indera mata di akherat kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama
al-jahmiyah atau jabariyah Khalisah.
Kemudian
Ja’ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah
(Sarkowi, 2010):
·
Al-Qur’an adalah makhluk dan
sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah.
·
Allah tidak mempunyai siifat
yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
·
Manusia terpaksa oleh Allah
dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran
Jabariyah yang ekstrim tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana
dimiliki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak
boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk
yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan
Allah (Sarkowi, 2010).
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia,
baik itu positif atau negative, tetapi manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang
dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan
yang diciptakan Tuhan. Tokoh yang berpaham sepert ini adalah Hasan bin
Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan
manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar
(Tokoh Jabariyah Moderat lainnya) berpendapat bahwa Tuhan dapat saja
dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak
(Sarkowi, 2010).
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
a. An-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad
An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau
Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
1. Tuhan menciptaka segala perbuatan manusia,
tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan
itu.
Itulah yang disebut kasab dalam teori
Al-Asy’ary. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi
seperti wayang yang gerakanya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang
diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
2. Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat. Akan tetapi,An-Najjar
menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati pada mata sehingga
manusia dapat melihat Tuhan.
b.
Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr.
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa
manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai
bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam
melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan
dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan,artinya perbuatan manusia
tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri.
Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat. Dhirar mengatakan
bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima
setelah Nabi adalah ijtihad. Hadist ahad tidak
dapat dijadikan sumbeer dalam menetapkan hukum (Rozak, 2000).
Jaham bin Shofyan berpendapat bahwa firqoh
Jabariyah adalah, manusia tidak mempunyai kodrat untuk berbuat sesuatu,
dan dia tidak mempunyai “kesanggupan” Dia hanya terpaksa hanya semua
perbuatannya. Dia tidak mempunyai kodrat dan ikhtiar, melainkan tuhanlah yang
menciptakan perbuatan – perbuatan pada dirinya, seperti ciptaan – ciptaan Tuhan
pada benda mati. Memnag perbuatan itu dinisbatkan kepada tiorang tersebut,
tetapi itu hanyalah nisbah majazi, secara kiasan, sama halnya kalau kita
menisbahkan sesuatu perbuatan pada benda – benda mati, misalnya dikatakan
bahwa: “Pohon itu berbuah” atau “air itu mengalir”, “batu bergerak”. Matahari
terbit dan tenggelam, “langit mendung dan menurunkan hujan”, “Bumi bergoncang
dan menumbuhkan tumbuh – tumbuhan dan lain – lain sebagainya, pahala dan
siksapun adalah paksaan, sebagaimana halnya dengan perbuatan – perbuatan”.
Jaham berkata: “Apabila paksaan itu telah tetap maka taktif adalah paksaan
juga.
Jahm dan kawan-kawannya memperkuat pendapat mereka tentang “paksaan” itu dengan
mengemukakan ayat – ayat yang mereka pandang dapat memperkuatnya, misalnya
firman Allah Swt di dalam Surat Al-Qashas [56] yang artinya:
“Sesungguhnya kamu (Muhammad saw.)tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk.”
Dan firman Allah dalam Surat Yunus
[99] artinya:
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya”
Dalam firmanNya lagi dalam
Al-Baqarah [7]:
“Allah telah mengunci-mati hati
dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa
yang amat berat”
Dalam firmanNya juga dalam surat Hud
[34]:
“Dan tidaklah bermanfaat kepadamu
nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak
menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan."
Mayoritas kaum muslimin menolak
pahan Jabariyah ini, karena menyebabkan manusia menjadi malas, lalai dan
menghapuskan tanggung jawab, dengan mengemukakan ayat – ayat yang terang
maksudnya, yang dengan ayat – ayat tersebut Al-Qur’an Karim menolak pendapat –
pendapat yang dangkal dan naif itu. Ayat – ayat tersebut sebagai berikut.
سَيَقُولُالَّذِينَأَشْرَكُوالَوْشَاءَاللَّهُمَاأَشْرَكْنَاوَلَاآبَاؤُنَاوَلَاحَرَّمْنَامِنْشَيْءٍكَذَلِكَكَذَّبَالَّذِينَمِنْقَبْلِهِمْحَتَّىذَاقُوابَأْسَنَاقُلْهَلْعِنْدَكُمْمِنْعِلْمٍفَتُخْرِجُوهُلَنَاإِنْتَتَّبِعُونَإِلَّاالظَّنَّوَإِنْأَنْتُمْإِلَّاتَخْرُصُونَ
قُلْفَلِلَّهِالْحُجَّةُالْبَالِغَةُفَلَوْشَاءَلَهَدَاكُمْأَجْمَعِينَ
Orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan
bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan
barang sesuatu apapun." Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah
mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah:
"Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu
mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan
belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah: "Allah
mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia
memberi petunjuk kepada kamu semuanya."
(QS. Al An’aam [6]: 148 – 149)
Difirmankan
Allah swt:
“Dan
berkatalah orang-orang musyrik: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami
tidak akan menyembah sesuatu apapun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak
kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatupun tanpa (izin)-Nya."
Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka; maka tidak ada kewajiban
atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”
(QS. Al Nahl [35]).
Menurut
pahan Ahlus Sunnah, bahwa segala sesuatu itu memang dijadikan oleh Allah swt.
tetapi Allah swt. juga menjadikan ikhtiar dan kasab bagi manusia. Suatu yang
diperbuat manusia adalah pertemuan ikhtiar manusia dengan takdir-Nya. Ikhtiar
dan kasab adalah hanya sebagai sebab saja, bukan yang mengadakan atau yang
menciptakan sesuatu. Umpanya, suatu benda tersentuh api, maka ia terbakar. Bila
orang itu makan maka kenyanglah. Perlu diingat bahwa bukan api yang membakarnya
dan bukan pula nasi yang mengenyangkannya, semua karena Allah swt. semata –
mata. Kadang – kadang bisa terjadi bila Allah swt. menghendaki, banyak benda
yang tersentuh api tetapi tidak terbakar. Banyak orang berusaha sekuat tenaga,
tetapi justru sial dan kemalangan yang diperoleh. Kalau obat itu mesti dapat
menyembuhkan penyakit, tentu tidak ada orang yang mati. Sebab sakit apa pun
dapat disembuhkan dan obat dapat mencegah kematian. Bermacam-macam obat
untuk menyembuhkan penyakit, kenyataan menunjukkan bahwa banyak penyakit yang
tidak dapat disembuhkan. Tua dan kematian, sesuatu yang tidak ada obatnya.
Manusia
memperoleh hukuman karena ikhtiar dan kasabnya yang tidak baik dan akan diberi
pahala atas diberi pahala atas ikhtiar dan kasabnya yang baik.
Firman Allah dalam Al-Baqarah [286]:
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya”
Firman Allah
pada Ar-Ruum [41]:
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
2.3.2.Ajaran dan Perkembangan aliran
Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang ajaran Qadariyah
bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang
melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula
yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri. Tokoh an-Nazzm menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya,
dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surge kelak di akherat dan
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas
pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan
mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang
umun dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa
nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia
hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak zaman azali terhadap
dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi
alam semesta beserta isinya sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah
Al-Qur’an adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak
dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya dapat berbuat lain, kecuali
mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak
mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga
manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang
seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alas an untuk menyandarkan
perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak
ayat-ayat Al-QUr’an yang berbicara dan mendukung paham itu
a.
QS. Al-Kahfi:29
“Maka barang siapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan barng siapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”
b.
QS. Ali
Imran: 165
c.
“ Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud) padahal
kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada
peperangan Badar), kamu berkata: “dari mana datangnya (kekalahan) ini?”
Katakanlah: “ itu dari (kesalahan) diriu sendiri “. Sesungguhnya Allh Maha
Kuasa atas segala sesuatu.”
d.
QS. Ar-Ra’d:
11
“Sesunguhnya Allah tidak merubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
e.
QS. An-Nisa:
111
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa,. Maka
sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.”
Paham Qadariyah dibawah ke dalam
kalangan orang – orang arab oleh orang islam yang bukan berasal dari arab
padang pasir, hal itu menimbulkan kegoncangan dalam pemikiran mereka yang
sebelumnya hidup serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Paham Qadariyah itu
mereka anggap bertentangan dengan ajaran islam. Adanya kegoncangan dan sikap
menentang Paham Qadariyah yang dapat kita lihat dalam hadits mengenai Paham
Qadariyah.
“Kaum Qadariyah merupakan majusi
umat islam, dalam arti golongan yang sesat”
Ada pendapat lain mengatakan bahwa
sebenarnya yang mengembangkan ajaran – ajaran Qadariyah itu bukan Ma’bad
al-Juhni, ada seorang penduduk negeri Irak, yang mulanya beragama Kristen
kemudian masuk Islam, namun akhirnya kembali ke Kristen lagi. Dari orang inilah
Ma’bad al-Juhni dan Gailan ad Damasqi mengambil pemikirannya.
Mereka justru
sulit diketahui aliran – alirannya. Karena mereka dalam segi tertentu mempunyai
kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah dan dalam segi lain sama dengan Murji’ah,
Syamr, Ibnu Syabib, Gailan ad Damasqi dan Shaleh Qubbah. Mereka mempunyai
pengertian yang berbeda mengenai iman.
Pada waktu itu
Gailan ad Damasqi sendiri menyiarkan dalam Paham Qadariyahnya di Damaskus,
tetapi mendapat pertentangan dari Khalifah ‘Umar Ibn’ ‘Abd al-‘Aziz. Setelah
Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, sehingga ia mati dihukum bunuh
oleh Hisyam ‘Abd al-Malik. Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan
antara Gailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
Menurut Gailan,
manusia berkuasa atas perbuatan – perbuatannya; manusia sendirilah yang
melakukan perbuatan – perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan
manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan – perbuatan jahat
atas kemampuan dan dayanya sendiri. Dalam Paham Qadariyah manusia merdeka atas
kelakuannya. Ia berbuat baik karena kelakuannya dan kehendaknya sendiri.
Demikian pula berbuat jahat atas kehendaknya sendiri. Di sini tak terdapat
ajaran yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
Abi Syamr
berpendapat tentang iman: “Sesungguhnya iman merupakan ma’rifat kepada Allah
Azza Wa Jalla, cinta dan tunduk hati kepada-Nya dan berikrar bahwa sesungguhnya
Dia itu Esa, tidak ada satupun yang semisal dengan-Nya, selamanya ada pada
Hujjah para Nabi as. Apabila Hujjah itu ada maka ikrara dan tashiqnya termasuk
iman dan ma’rifat. Ikarar terhadap segala apa yang berasal dari Allah Swt.
(wahyu) yang dibawah oleh para nabi tidak termasuk ke dalam iman yang asli.
Tiap – tiap bukanlah bagian dari iman itu merupakan iman dan tidak pula bagian
dari iman. Apabila terhimpun bagian – bagian itu jadilah keseluruhannya itu
iman. Disyaratkan dari bagian iman ialah mengenal keadilan. Maksudnya ialah
Qadar (takdir) baik dan buruk seseorang tanpa sedikitpun disandarkan kepada
Allah SWT.”
Muhammad Ibnu
Syabib berpendapat: “Sesungguhnya iman adalah ikarar kepada Allah, ma’rifat
kepada para Rosul dan segala apa yng dibawa dari Allah Swt. tentang hal – hal
yang disepakati oleh orang – orang islam, seperti Sholat, Zakat, Puasa, Haji
dan hal – hal yang tidak diperselisihkannya. Iman itu bercabang dan manusia
berlebih tentang islam. Satu bagian dari iman yang kadang – kadang merupakan
bagian dari iman dan meninggalkannya menjadi kufur disebabkan meninggalkan
sebagian dari iman dan tidak menjadi Mukmin dengan tepat sepenuhnya
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Dari pembahasan dan penjelasan pada Bab II dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1.
Awal masuknya aliran Jabariyah dan Qadariyah ke masyarakat Arab
dalam kehidupan yang sangat sederhana dan jauh dari pengetahuan, sehingga
mereka mengalami kegoncangan dalam pemikiran dan di mata bangsa Arab kedua
aliran ini adalah Majusi kaum Islam (golongan sesat);
2.
Tokoh – tokoh penyebar aliran Jabariyah dan Qadariyah antara lain:
Ma’bad al-Juhani, Ghailan al-Damasyqi, Jahm bin Shofwan dan Ja’d bin dirham.
3.
Ajaran dari aliran Qadariyah adalah manusia mempunyai kebebasan dan
kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Jadi manusia bebas dan
mempunyai kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan – perbuatannya.
4.
Ajaran dari aliran Jabariyah adalah manusia tidak mempunyai
kebebasan dan kemerdekaan dalam mewujudkan perbuatan dan kehendaknya. Sehingga
dalam artian manusia dalam paham ini terikat dengan kehendak Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghurabi,
‘Ali Mustafa. 1962. Tarikh al-Firaq al Islamiyah. Kairo
Asmi, Yudian
Wahyudi. 2004. Aliran Dan Teori Filsafat Islam. Yogyakarta: Bumi Aksara
Nasir, Sahilun
A. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta:
Rajawali Press
Rozak, Abdul.
2000. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka setia
Nasution,
Harun. 2009. Teologi Islam Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI-Press
Nasution,
Harun. 2010. Teologi Islam Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: Universitas Indonesia Press
Sarkowi. 2010. Teologi
Islam Klasik. Malang: Resist Literacy
Thaib, thahir.
1986. Ilmu Kalam. Jakarta: Widjaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar