Rabu, 27 Juni 2012

Sekilas Tentang Aliran Jabariyah dan Qadariyah


BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Sebagaimana yang telah diketahui bahwasanya pada tahun – tahun terakhir abad pertama Hijriyah kaum Muslimin menggeluti problematika Jabar dan ikhtiyar. Tentang hal ini ada dua sikap: menerima dan menolak, kanan dan kiri, di Damaskus, Madinah  dan Basrah, para perawi, ahl hadits, para da’i dan para penguasa ambil bagian dalam masalah ini. Misalnya, satu kelompok lebih condong untuk memegangi pendapat tentang adanya kebebasan kehendak. Mereka disebut aliran Qadariyah karena mereka menetapkan bahwa manusia memiliki kemampuan atas perbuatan-perbuatannya. Sedangkan kelompok yang lain berpendapat bahwa manusia terpaksa, tidak bebas memilih. Karena manusia tidak mempunyai kehendak dcan kemampuan; tidak bisa apa-apa kecuali yang dikehendaki oleh Allah; tidak mempunyai kemampuan untuk mengerjakan sesuatu; tetapi semua perbuatannya diciptakan oleh Allah. Mereka disebut aliran Jabariyah.
Pada awalnya ada tiga kelompok yang mengorbankan problematika ini, dua di antaranya adalah Qadariyah dan satu Jabariyah. Mereka dikenal berani mengritik  para khalifah Bani Umayah dan menolak banyak upaya para kahlifah tersebut. Mereka diberi  lisan yang cakap untuk berbicara dan argumentasi yang  kuat. Mereka berjuang  dalam rangka mempertahankan pendapat, sampai menyerahkan nyawa mereka sebagai saksi – saksi kebenaran dari  prinsip – prinsip mereka.

1.2         Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui asal – usul kemunculan aliran Jabariyah dan Qadariyah.
2.    Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang melopori munculnya aliran Jabariyah  dan aliran Qadariyah.
3.    Untuk mengetahui ajaran – ajaran yang terdapat dalam aliran Jabariyah dan aliran Qadariyah.
4.    Untuk mengetahui perkembangan lebih lanjut aliranJabariyah dan aliran Qadariyah pada zaman sekarang ini (modern).




BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Aliran Jabariyah Dan AliranQadariyah
2.1.1.Asal-Usul Aliran Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan ­al-insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama),  setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya  dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadla dan qadar Tuhan (Nasution, 2009).
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adaalh bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tetapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa Jabariyah adalah amiran manusia menjadi wayang dan tuhan sebagai dalangnya (Asmi, 2004).
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini mucul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir Sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi ynag disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata tidak daapt memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara. Dan dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan alam, sehingga menyebabkan mereka kepada paham fatalism (Asmi, 2004).
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara para ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam (Rozak, 2000).
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism (Rozak, 2000).
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini (Sarkowi, 2010):
a.    Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b.    Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterograsi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.    Khalifah Ali bin Abi Thalib sesuai Perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju Perang Shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahal sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahal  dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujin-Nya bagi orang-orang yang baik.
d.    Pada pemerintahan Daulah Bani Umayah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham Jabariyah.
Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit faham al-jabar telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, al-jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan di atas (Rozak, 2000).
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agam Yahudi  bermadzab Qurra dan agama Kristen bermadzab Yacobit. Namun, tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga dikalangan umat Islam. Di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham ini, misalnya (Rozak, 2000):

Surat Al-An’am (119)
وَمَالَكُمْأَلَّاتَأْكُلُوامِمَّاذُكِرَاسْمُاللَّهِعَلَيْهِوَقَدْفَصَّلَلَكُمْمَاحَرَّمَعَلَيْكُمْإِلَّامَااضْطُرِرْتُمْإِلَيْهِوَإِنَّكَثِيرًالَيُضِلُّونَبِأَهْوَائِهِمْبِغَيْرِعِلْمٍإِنَّرَبَّكَهُوَأَعْلَمُبِالْمُعْتَدِينَ
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.

Surat Al-An’am (121)
وَلَاتَأْكُلُوامِمَّالَمْيُذْكَرِاسْمُاللَّهِعَلَيْهِوَإِنَّهُلَفِسْقٌوَإِنَّالشَّيَاطِينَلَيُوحُونَإِلَىأَوْلِيَائِهِمْلِيُجَادِلُوكُمْوَإِنْأَطَعْتُمُوهُمْإِنَّكُمْلَمُشْرِكُونَ
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.

Surat Al Anfal (17)
فَلَمْتَقْتُلُوهُمْوَلَكِنَّاللَّهَقَتَلَهُمْوَمَارَمَيْتَإِذْرَمَيْتَوَلَكِنَّاللَّهَرَمَىوَلِيُبْلِيَالْمُؤْمِنِينمِنْهُبَلَاءًحَسَنًاإِنَّاللَّهَسَمِيعٌعَلِيمٌ
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Surat Al Insaan (30)
وَمَاتَشَاءُونَإِلَّاأَنْيَشَاءَاللَّهُإِنَّاللَّهَكَانَعَلِيمًاحَكِيمًا
Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dengan demikian, latar belakang lahirnya Jabariyah dapat dibedakan ke dalam dua factor, yaitu: pertama, faktor internal (pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah), dan kedua, faktor eksternal (pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini) (Sarkowi, 2010).
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, kedua, terlalu tekstual pemahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adaalh adanya aliran salaf yag ditokohi Muqoptil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih (Sarkowi, 2010).

2.1.2.Asal-Usul Aliran Qadariyah
Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/ 689 M, dipimpin oleh Ma’bad al-Juhni al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) (Asmi, 2004).
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan atau kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Qadariyah dipaksa untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan (Nasution, 2009).
Latar belakang timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayah yang dianggapnya kejam. Apabila firqoh Jabariyah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah SWT. Demikian dan hal ini berarti merupakan topeng kekejamannya, maka firqoh Qadariyah mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakan bahwa kalau Allah SWT. Itu adil, maka Allah SWT. Akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Manusia harus bebas dalam menetukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah SWT. Telah menentukan terlebih dahulu nasib manisia, maka Allah SWT. Itu lazim. Karena itu, manusia harus merdeka memilih atau ikhtiyar atas perbuatannya (khaliqul ‘af’al). Manusia harus mempunyai kebebasan berkehendak. Orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia itu hanyalah tergantung kepada qadar Allah SWT saja, selamat atas celak seseorang itu telah ditentukan oleh Allah SWT. Sebelumnya, maka pendapat tersebut adalah sesat. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah SWT. Dan berarti menganggap-Nya yang menjadi sebab terjadinya kejahatan-kejahatan. Mustahil Allah SWT. Melakukan kejahatan (Nasution, 2009).
Sebagian orang-orang Qadariyah mengatakan bahwa semua perbuatan manusia yang baik itu berasal dari Allah SWT., sedangkan perbuatan manusia yang jelek itu manusia sendiri yang menciptakannya, tidak ada sangkut-pautnya dengan Allah SWT (Asmi, 2004).
Sehubungan pendapat Qadariyah tersebut, sebelumnya Nabi Muhammad SAW., bersabda (Asmi, 2004):
“Dari Hudzaofah ra., berkata: Rasulullah SAW., bersabda: Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya dan Majusi umatku ini ialah mereka yang mengatakan bahwa tidak ada takdir. Barang siapa di antara mereka itu mati, maka janganlah engkau menshalati janazahnya. Dan barang siapa di antara mereka itu sakit, maka janganlah kamu menjenguknya. Mereka adalah golongan Dajjal dan memang ada hak bagi Allah untuk mengaitkan mereka itu dengan Dajjal itu”. (HR. Abu Dawud).
Mereka dikatakan Majusi, karena mereka beranggapan adanya dua pencipta kebaikan dan keburukan. Hal ini sama persis dengan ajaran agama Majusi atau Zaroaster yang mengatakan adanya keburukan, gelap dan malam, disebut Ahriman atau Angramanyu (Asmi, 2004).
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Sehingga ada beberapa versi, di antaranya (Sarkowi, 2010):
§  Ahmad Amin mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’ba dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689 M. Ma’bad adalah seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.
§  Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan. Demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib.
§  Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini (Sarkowi, 2010);
Pertama, karena masyarakt Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah kepada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. Faham itu terus dianut kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai usaha menyebarkan faham dinamis dan kaya daya kritis rakyat, yang paad gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
Ditinjau dari segi politik, kehadiran madzab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayah, karena kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaannya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untyki sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah (Sarkowi, 2010).


2.2.Tokoh-Tokoh Penyebar Aliran Jabariyah Dan Qadariyah
2.2.1.Jahm bin Shofwan
          Nama lengkapnya adalah  Abu Mahrus Jahm bin Shafwan. Ia berasal dari khurasan,bertempat tinggal di Khuffa. Ia seorang Da’i yang fasih dan lincah (orator). Ia menjabat sebagai sekertaris haris bin Surais, seorang Mawali yang menentang pemerintah Bani Umaiyah di Khurasan. Ia ditawan dan dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan Agama. Sebagi seorang penganut dan penyebar Paham jabariyah banyak usaha yang dilakukan jahm yang tersebar keberbagai tempat,seperti ketirmidz dan balk (Thoib, 1986).
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah (Rozak, 2000):
1.    Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa.Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2.    Surga dan neraka tidak dikekal. Tidak kekal selai Tuhan
3.    Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.Dalam hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murjiyah.
4.    Kalam Tuhan adalah makhluk.Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara,mendengar,dan melihat.
          Begitu pula Tuhan tidak dilihat dengan indra mata diakhirat kelak. Dengan demikian dalam beberapa hal,pendapat Jahm hamper sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarah wan  meyebabkan dengan Al-mu’tazilah, Al- Murji’ah dan Al- asy’ari (al-Ghurobi, 1962).
2.2.2.Ja’d bin dirham
Al-ja’d adalah seorang Maulana bani Hakim, tiggal Di Damaskus. Dia dibesarkan didalam lingkungan orang Kristen  yang senang membicarakan teologi. Semula dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani umaiyah, tetapi setelah tampak pikiran – pikirannya  yang controversial, bani Umaiyah menolaknya. Kemudian Al-ja’d lari ke kufah dan disana ia bertemu dengan Jahm serta mentransper pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebar luaskan.Dokterin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm.  Al-Ghuraby menjelaskan sbb (Rozak, 2000):
1.    Al- Quran itu adalah Mahkluk. Oleh karena itu, dia baru.Sesuatu yang baru itu tidak dapat di sefatkan kepada Allah.
2.    Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
                         

2.3.Ajaran-Ajaran dan Perkembangan Aliran Jabariyah Dan Qadariyah
2.3.1.Ajaran dan perkembangan Aliran Jabariyah
Ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat (Sarkowi, 2010).
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akhirat. Di antara pendapat Jahm adalah (Sarkowi, 2010):
·      Surga dan neraka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah.
·      Iman dalam pengertiannya adalah ma’rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep ynag dikemukakan oleh kaum Murji’ah.
·      Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama al-jahmiyah atau jabariyah Khalisah.
          Kemudian Ja’ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah (Sarkowi, 2010):
·      Al-Qur’an adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah.
·      Allah tidak mempunyai siifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar.
·      Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
            Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimiliki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah (Sarkowi, 2010).
            Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negative, tetapi manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan. Tokoh yang berpaham sepert ini adalah Hasan bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (Tokoh Jabariyah Moderat lainnya) berpendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak (Sarkowi, 2010).
          Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat adalah sebagai berikut:
a.  An-Najjar
Nama  lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
1.    Tuhan menciptaka segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ary. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi seperti wayang yang gerakanya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2.    Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat. Akan tetapi,An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b.    Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan,artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat. Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadist ahad tidak dapat dijadikan sumbeer dalam menetapkan hukum (Rozak, 2000).
Jaham bin Shofyan berpendapat bahwa firqoh Jabariyah adalah, manusia tidak mempunyai kodrat untuk berbuat sesuatu, dan dia tidak mempunyai “kesanggupan” Dia hanya terpaksa hanya semua perbuatannya. Dia tidak mempunyai kodrat dan ikhtiar, melainkan tuhanlah yang menciptakan perbuatan – perbuatan pada dirinya, seperti ciptaan – ciptaan Tuhan pada benda mati. Memnag perbuatan itu dinisbatkan kepada tiorang tersebut, tetapi itu hanyalah nisbah majazi, secara kiasan, sama halnya kalau kita menisbahkan sesuatu perbuatan pada benda – benda mati, misalnya dikatakan bahwa: “Pohon itu berbuah” atau “air itu mengalir”, “batu bergerak”. Matahari terbit dan tenggelam, “langit mendung dan menurunkan hujan”, “Bumi bergoncang dan menumbuhkan tumbuh – tumbuhan dan lain – lain sebagainya, pahala dan siksapun adalah paksaan, sebagaimana halnya dengan perbuatan – perbuatan”. Jaham berkata: “Apabila paksaan itu telah tetap maka taktif adalah paksaan juga.
            Jahm dan kawan-kawannya memperkuat pendapat mereka tentang “paksaan” itu dengan mengemukakan ayat – ayat yang mereka pandang dapat memperkuatnya, misalnya firman Allah Swt di dalam Surat Al-Qashas [56] yang artinya:

            Sesungguhnya kamu (Muhammad saw.)tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
            Dan firman Allah dalam Surat Yunus [99] artinya:

            Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya
            Dalam firmanNya lagi dalam Al-Baqarah [7]:


            Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat


            Dalam firmanNya juga dalam surat Hud [34]:

            Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan."
            Mayoritas kaum muslimin menolak pahan Jabariyah ini, karena menyebabkan manusia menjadi malas, lalai dan menghapuskan tanggung jawab, dengan mengemukakan ayat – ayat yang terang maksudnya, yang dengan ayat – ayat tersebut Al-Qur’an Karim menolak pendapat – pendapat yang dangkal dan naif itu. Ayat – ayat tersebut sebagai berikut.

سَيَقُولُالَّذِينَأَشْرَكُوالَوْشَاءَاللَّهُمَاأَشْرَكْنَاوَلَاآبَاؤُنَاوَلَاحَرَّمْنَامِنْشَيْءٍكَذَلِكَكَذَّبَالَّذِينَمِنْقَبْلِهِمْحَتَّىذَاقُوابَأْسَنَاقُلْهَلْعِنْدَكُمْمِنْعِلْمٍفَتُخْرِجُوهُلَنَاإِنْتَتَّبِعُونَإِلَّاالظَّنَّوَإِنْأَنْتُمْإِلَّاتَخْرُصُونَ
قُلْفَلِلَّهِالْحُجَّةُالْبَالِغَةُفَلَوْشَاءَلَهَدَاكُمْأَجْمَعِينَ
Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun." Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah: "Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya."  (QS. Al An’aam [6]: 148 – 149)
            Difirmankan Allah swt:

            Dan berkatalah orang-orang musyrik: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apapun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatupun tanpa (izin)-Nya." Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka; maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. Al Nahl [35]).
            Menurut pahan Ahlus Sunnah, bahwa segala sesuatu itu memang dijadikan oleh Allah swt. tetapi Allah swt. juga menjadikan ikhtiar dan kasab bagi manusia. Suatu yang diperbuat manusia adalah pertemuan ikhtiar manusia dengan takdir-Nya. Ikhtiar dan kasab adalah hanya sebagai sebab saja, bukan yang mengadakan atau yang menciptakan sesuatu. Umpanya, suatu benda tersentuh api, maka ia terbakar. Bila orang itu makan maka kenyanglah. Perlu diingat bahwa bukan api yang membakarnya dan bukan pula nasi yang mengenyangkannya, semua karena Allah swt. semata – mata. Kadang – kadang bisa terjadi bila Allah swt. menghendaki, banyak benda yang tersentuh api tetapi tidak terbakar. Banyak orang berusaha sekuat tenaga, tetapi justru sial dan kemalangan yang diperoleh. Kalau obat itu mesti dapat menyembuhkan penyakit, tentu tidak ada orang yang mati. Sebab sakit apa pun dapat disembuhkan dan obat dapat mencegah kematian. Bermacam-macam obat untuk menyembuhkan penyakit, kenyataan menunjukkan bahwa banyak penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tua dan kematian, sesuatu yang tidak ada obatnya.
Manusia memperoleh hukuman karena ikhtiar dan kasabnya yang tidak baik dan akan diberi pahala atas diberi pahala atas ikhtiar dan kasabnya yang baik.
Firman Allah dalam Al-Baqarah [286]:             
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya
Firman Allah pada Ar-Ruum [41]:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
2.3.2.Ajaran dan Perkembangan aliran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzm menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surge kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu  sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umun dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak zaman azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta isinya sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alas an untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Al-QUr’an yang berbicara dan mendukung paham itu
a.    QS. Al-Kahfi:29
“Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barng siapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”
b.    QS. Ali Imran: 165
c.    “ Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud) padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “ itu dari (kesalahan) diriu sendiri “. Sesungguhnya Allh Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
d.    QS. Ar-Ra’d: 11
“Sesunguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
e.    QS. An-Nisa: 111
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa,. Maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri.”
Paham Qadariyah dibawah ke dalam kalangan orang – orang arab oleh orang islam yang bukan berasal dari arab padang pasir, hal itu menimbulkan kegoncangan dalam pemikiran mereka yang sebelumnya hidup serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Paham Qadariyah itu mereka anggap bertentangan dengan ajaran islam. Adanya kegoncangan dan sikap menentang Paham Qadariyah yang dapat kita lihat dalam hadits mengenai Paham Qadariyah.
Kaum Qadariyah merupakan majusi umat islam, dalam arti golongan yang sesat
Ada pendapat lain mengatakan bahwa sebenarnya yang mengembangkan ajaran – ajaran Qadariyah itu bukan Ma’bad al-Juhni, ada seorang penduduk negeri Irak, yang mulanya beragama Kristen kemudian masuk Islam, namun akhirnya kembali ke Kristen lagi. Dari orang inilah Ma’bad al-Juhni dan Gailan ad Damasqi mengambil pemikirannya.
            Mereka justru sulit diketahui aliran – alirannya. Karena mereka dalam segi tertentu mempunyai kesamaan ajaran dengan Mu’tazilah dan dalam segi lain sama dengan Murji’ah, Syamr, Ibnu Syabib, Gailan ad Damasqi dan Shaleh Qubbah. Mereka mempunyai pengertian yang berbeda mengenai iman.
            Pada waktu itu Gailan ad Damasqi sendiri menyiarkan dalam Paham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi mendapat pertentangan dari Khalifah ‘Umar Ibn’ ‘Abd al-‘Aziz. Setelah Umar wafat ia meneruskan kegiatannya yang lama, sehingga ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd al-Malik. Sebelum dijatuhi hukuman bunuh diadakan perdebatan antara Gailan dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.
            Menurut Gailan, manusia berkuasa atas perbuatan – perbuatannya; manusia sendirilah yang melakukan perbuatan – perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan – perbuatan jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri. Dalam Paham Qadariyah manusia merdeka atas kelakuannya. Ia berbuat baik karena kelakuannya dan kehendaknya sendiri. Demikian pula berbuat jahat atas kehendaknya sendiri. Di sini tak terdapat ajaran yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
            Abi Syamr berpendapat tentang iman: “Sesungguhnya iman merupakan ma’rifat kepada Allah Azza Wa Jalla, cinta dan tunduk hati kepada-Nya dan berikrar bahwa sesungguhnya Dia itu Esa, tidak ada satupun yang semisal dengan-Nya, selamanya ada pada Hujjah para Nabi as. Apabila Hujjah itu ada maka ikrara dan tashiqnya termasuk iman dan ma’rifat. Ikarar terhadap segala apa yang berasal dari Allah Swt. (wahyu) yang dibawah oleh para nabi tidak termasuk ke dalam iman yang asli. Tiap – tiap bukanlah bagian dari iman itu merupakan iman dan tidak pula bagian dari iman. Apabila terhimpun bagian – bagian itu jadilah keseluruhannya itu iman. Disyaratkan dari bagian iman ialah mengenal keadilan. Maksudnya ialah Qadar (takdir) baik dan buruk seseorang tanpa sedikitpun disandarkan kepada Allah SWT.
            Muhammad Ibnu Syabib berpendapat: “Sesungguhnya iman adalah ikarar kepada Allah, ma’rifat kepada para Rosul dan segala apa yng dibawa dari Allah Swt. tentang hal – hal yang disepakati oleh orang – orang islam, seperti Sholat, Zakat, Puasa, Haji dan hal – hal yang tidak diperselisihkannya. Iman itu bercabang dan manusia berlebih tentang islam. Satu bagian dari iman yang kadang – kadang merupakan bagian dari iman dan meninggalkannya menjadi kufur disebabkan meninggalkan sebagian dari iman dan tidak menjadi Mukmin dengan tepat sepenuhnya




BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
            Dari pembahasan dan penjelasan pada Bab II dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Awal masuknya aliran Jabariyah dan Qadariyah ke masyarakat Arab dalam kehidupan yang sangat sederhana dan jauh dari pengetahuan, sehingga mereka mengalami kegoncangan dalam pemikiran dan di mata bangsa Arab kedua aliran ini adalah Majusi kaum Islam (golongan sesat);
2.    Tokoh – tokoh penyebar aliran Jabariyah dan Qadariyah antara lain: Ma’bad al-Juhani, Ghailan al-Damasyqi, Jahm bin Shofwan dan Ja’d bin dirham.
3.    Ajaran dari aliran Qadariyah adalah manusia mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Jadi manusia bebas dan mempunyai kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan – perbuatannya.
4.    Ajaran dari aliran Jabariyah adalah manusia tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam mewujudkan perbuatan dan kehendaknya. Sehingga dalam artian manusia dalam paham ini terikat dengan kehendak Allah.




DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghurabi, ‘Ali Mustafa. 1962. Tarikh al-Firaq al Islamiyah. Kairo
Asmi, Yudian Wahyudi. 2004. Aliran Dan Teori Filsafat Islam. Yogyakarta: Bumi Aksara
Nasir, Sahilun A. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta: Rajawali Press
Rozak, Abdul. 2000. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka setia
Nasution, Harun. 2009. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Nasution, Harun. 2010. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Sarkowi. 2010. Teologi Islam Klasik. Malang: Resist Literacy
Thaib, thahir. 1986. Ilmu Kalam. Jakarta: Widjaya











Tidak ada komentar: